Movie Review: Minggu Pagi di Victoria Park


Alie (bukan nama sebenarnya) pernah bercerita pada saya dengan menggebu-gebu. Perempuan yang kala itu berumur 20 tahun menuturkan bahwa dirinya sangat menikmati pekerjaan sebagai babu di Hong Kong. Apa enaknya, batin saya. Karena jelas-jelas profesi yang berlabel keren TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau lebih spesifik TKW (Tenaga Kerja Wanita), tidak menarik lantaran berita-berita kelam yang selama ini tersiar di media massa domestik dan luar negeri.

Tapi Alie tidak berhenti meyakinkan saya dengan membeberkan hubungan baiknya dengan anak asuh serta majikannya di daerah administratif Republik Rakyat China (RRC) tersebut. Kolase potret yang ditempelnya pada secarik kertas Asturo pink -sesuai warna favorit Alie- disertai diary berisi catatan rutinitas dan memo dari “keluarga”nya di Hong Kong ia pamerkan kepada saya. Dari situ, saya percaya bahwa ia tidak sedang membual. Satu pertanyaan yang kemudian saya ajukan untuk Alie, “Benarkah menjadi TKW membahagiakan?”. Alie hanya tersenyum lebar.

Pertanyaan tujuh tahun silam itu akhirnya terjawab ketika saya menonton Minggu Pagi di Victoria Park (MPdVP). Mayang (Lola Amaria) diminta oleh ayahnya untuk mencari adiknya, Sekar (Titi Sjuman) yang bekerja sebagai TKW di Hong Kong. Dari petikan dialog dan flashback scene yang tersaji, kita kemudian akan tahu bahwa hubungan ketiga tokoh itu tidak harmonis. Tidak bisa menolak, Mayang pun akhirnya menyusul Sekar. Ia ikut larut dalam kisah buruh migran Indonesia di negeri orang.

Persoalan buruh migran di negara kita sebenarnya sudah menjadi perhatian dunia. Pada konferensi WCAR (World Conference Against Racism) tahun 2001 yang digelar di Durban, Afrika Selatan, buruh migran menjadi salah satu pokok bahasan penting. Masyarakat internasional menganggap buruh migran sebagai entitas sosial yang dalam sejarah kemanusiaan senantiasa menghadapi tantangan rasialisme, perbudakan, diskriminasi dan bentuk-bentuk tindakan intoleransi lainnya (Tempo, 17 Juni 2004).

Dari pembahasan itu, terdapat kemajuan berupa pengakuan hak-hak buruh migran. Dokumen-dokumen yang dihasilkan dalam WCAR, yang menjadi landasan program aksi bersama negara-negara, terdapat klausul-klausul yang mengukuhkan eksistensi buruh migran (termasuk di dalamnya domestic helper) sebagai subyek yang harus dilindungi hak-hak asasinya. Terdapat pula keharusan untuk menghindari terjadinya proses human trafficking (perdagangan manusia) serta dihargainya hak-hak keluarga buruh migran untuk berkumpul kembali di negara tujuan bekerja. Dokumen itu juga sepakat bahwa buruh migran memiliki hak atas upah yang sama, asuransi sosial, status hukum yang sama dengan buruh setempat dan menghargai hak-hak ekspresi kultural.

Indonesia sebagai salah satu penyumbang TKW terbesar di dunia diminta lebih memperhatikan nasib warga negaranya. Karena, kaum perempuan dalam konstruksi masyarakat patriarkis rentan terhadap tindak kekerasan yang berbasis pada diskriminasi jender. Kasus-kasus pelecehan seksual, kekerasan fisik, perkosaan yang mengakibatkan kematian masih sering dialami buruh migran Indonesia. Pemerintah Indonesia pun sudah merespon dengan terbentuknya Letter of Intent antara Indonesia dengan Malaysia. Seperti kita ketahui, Malaysia adalah negara yang paling bermasalah dengan TKW Indonesia. Apakah hanya sampai disini tindakan Pemerintah? Tugas berat sudah pasti menunggu karena munculnya TKW disebabkan oleh minimnya lapangan kerja.

Dalam MPdVP, Lola Amaria sebagai sutradara tidak membidik kegagalan -tidak mungkin saya bilang sukses untuk korban seperti Maemunah dan Siti Hajar kan?- Pemerintah kita dalam menangani TKW. Mungkin ia ingin memberi penyeimbang, bahwa nasib TKW tak melulu menyedihkan. Memang benar. Karena dalam kenyataannya, buruh migran Indonesia juga pernah mendapat apresiasi dari luar. Salah satunya Elly Anita, TKW di Irak, yang dinobatkan sebagai Pahlawan Antiperdagangan Manusia oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, tahun 2009. Dan di filmnya yang kedua sebagai sutradara setelah Betina (2006), Lola berhasil menggugah semangat buruh perempuan sekaligus menyodorkan bukti kepada orang awam seperti kita bahwa menjadi TKW bisa membahagiakan.

Beberapa adegan yang bisa membuat Anda menyetujui kalimat diatas:

* Ketika Mayang dibantu oleh Sari (Imelda Soraya) untuk menyampaikan nasehat pada anak majikannya.

* Yati (Permata Sari Harahap) bisa diterima oleh lingkungan TKW sebagai lesbian. Perlakuan istimewa yang mungkin tidak akan ia dapati di Indonesia.

* Sekar masih bisa menunggak membayar sewa kontrak kamarnya. Ini bukti orang asing masih toleran terhadap TKW.

* Pada saat majikan Mayang memastikan keadaan buruhnya baik-baik saja dan mereka meminta Mayang untuk menceritakan masalah pribadinya.

* Sari mengatakan akan membeli sawah untuk orangtuanya di desa.

Menyaksikan MPdVP membuka mata kita tentang kehidupan TKW dari berbagai segi. Tidak hanya ekonomi (disebut Pahlawan Devisa) dan politik (sentilan Super Kredit), tetapi lebih dari itu telah “menyengat” jiwa sosial dan budaya kita. Jika ada yang menertawakan musisi favorit para TKW, tidak tahu dari apa hati orang itu terbuat. TKW berhak bahagia. Diantara padatnya jadwal kerja dan keterasingan, mendengarkan musik mungkin satu-satunya cara yang bisa menjadi penawar rasa sepi akan tanah air dan keluarga. Tanya diri sendiri, berapa banyak dari kita yang cinta lagu Indonesia? TKW hidup di negeri orang tetapi membuktikan nasionalisme mereka lebih besar dari kita yang hidup di negeri sendiri.

Titien Wattimena telah kembali ke “jalan”nya. Ia mengurutkan setiap kasus dari yang sederhana, rata-rata hingga kompleks ke dalam draft skenario yang menakjubkan. Apa yang ada di otak Titien tersalurkan juga ke otak penonton. Ia sudah menjalankan brainstorming dengan baik. Begini seharusnya seorang Titien bekerja!

Penyuntingan film ini berjalan mulus, maka sudah tepat jika Lola menggandeng Aline Jusria. Durasi sekitar 100 menit tak terasa lama, bahkan bisa memberi candu! Timing biasa menjadi duri dalam daging untuk produser dan sutradara. Tetapi saya rasa, Aline -yang juga ikut bermain- sudah membuat kedua pihak bernafas lega.

Teori sinematografi dikuasai sampai sel terdalam oleh Yadi Sugandi. Jadi rasanya ia cuma bermain-main dengan incedent meter dan contrast finder saja. Bermain saja sudah seperti ini hasilnya.

Satrio Budiono dan timnya bisa membaurkan antara alam dengan efek suara. Bising saat di bar dan Victoria Park, kemudian meredup senyap di flat. Sangat mendukung unsur visual.

Rico Marpaung yang punya reputasi bagus lewat Garasi (2006) dan LoVe (2008), sekali lagi menyampaikan pesan: less is more. Tata artistik tidak hanya harus menyesuaikan dengan setting dan waktu, tetapi juga harus bisa diterima akal. Contoh mudah, compang-campingnya Mayang terlihat solid dengan profesi yang ia jalani di desa. Penonton tidak akan percaya kalau seorang tokoh miskin hanya dari pakaian dan atribut yang melekat di badannya. Tetapi itu jelas bukan di film ini.

Aksan dan Titi Sjuman lagi-lagi bekerja dengan baik di departemen musik. Jika mau jujur, cerita yang buruk pun bisa terlupakan sejenak hanya karena musik bikinan mereka. Tapi, sekali lagi itu tidak berlaku di film ini.

Semua aktor -utama hingga figuran- memberi warna positif. Jarang sekali kita menonton film nasional dengan pemilihan cast yang sempurna. Barangkali yang pertama tahun ini. Lola Amaria dan Titi Sjuman tidak menenggelamkan pemain lainnya. Pada kenyataannya, setiap tokoh (lengkap dengan ekspresi dan dialognya) terus membekas hingga pintu bioskop dibuka kembali. Seperti inilah yang kita harapkan ketika menikmati sebuah pertunjukan!

Penyutradaraan, skenario, sinematografi, penyuntingan, tata suara, tata musik, akting = Excellent

Artistik, tata rias, wardrobe = Very Good



Ps. Jangan kaget jika dalam film ini muncul Christina Aguilera versi Indonesia. Entah kebetulan atau tidak, artis aslinya baru saja merilis album.



4/5



(KP/110610)

8 comments:

Anonymous said...

Wah...makin semangat mau nonton nih... soalnya film ini di-review sangat baik di blog manapun,bahkan disebut2 penampilan terbaik titi sjuman.. Harus ditonton banget nih ntar sore...thanks ya.. postingan yg bagus!

Anonymous said...

excellent review. saya sudah liat filmnya. titi sjuman makin keren maennya trus lola sukses banget jadi sutradara. the next nia dinata? hehehe

ninis said...

Jangan kaget jika dalam film ini muncul Christina Aguilera versi Indonesia. Entah kebetulan atau tidak, artis aslinya baru saja merilis album.

mksdnya siapa mba? yg mana?

Mellyana's Guardians said...

@ Ninis: Nggak seru kalau diceritakan disini. Btw sudah nonton belum? Kalau sudah, pasti tahu yg mana :)

Unknown said...

Ceritanya mudah, gak didramatisir : very good! Music excellent ! Tapiiii... Angle2 dari venue tidak ada yang maksimal, sayang sekali! Misal di victoria parknya, kamera gk memperluas angle jd bener2 seada2nya orang, tidak ada wawasan lebih soal victoria parknya itu sendiri.juga lampu bernyanyi di harbour, sayang banget angle indahnya tidak di explore.so untuk fotografienya bener2 bad score buat aku... Maaf yaa.

Unknown said...

Ceritanya mudah, gak didramatisir : very good! Music excellent ! Tapiiii... Angle2 dari venue tidak ada yang maksimal, sayang sekali! Misal di victoria parknya, kamera gk memperluas angle jd bener2 seada2nya orang, tidak ada wawasan lebih soal victoria parknya itu sendiri.juga lampu bernyanyi di harbour, sayang banget angle indahnya tidak di explore.so untuk fotografienya bener2 bad score buat aku... Maaf yaa.

Anonymous said...

Ninis lum liat kali ya ha ha ha. ada tuh christina indo version di trailer filmnx bagian last *spoiler

gue setuju dikit sama fany.yaaah 10 % lah gue masih merasa kurang dengan eksplorasi view HK nx.padahal kan mungkin banyak sudut yang bisa dilirik :p tapi mungkin karena tema filmnx juga bukan glamour so mbak lola nggak memperkaya filmnx dengan gambar-2 wow...mungkin loh he he :p

seiya sekata gue sama MG.... this is excellent movie. score dari gue 90. kalau pake IPK ya sekitar 3,70 lah. wow cum laude!!!!!! ---> DEZTA


NB. gue yakin banget nih pasti masuk nominasi Guardians awards tahun ini kan???? bravo MellyGuardians

Anonymous said...

Resensi film kamu lebih professional dari pada yg dimuat di media. Kamu lebih tahu cara menulis sebagai kritik film klas dunia.
Terima kasih sudah berbagi.