Showing posts with label Lola Amaria. Show all posts
Showing posts with label Lola Amaria. Show all posts

Best Buy: "Minggu Pagi di Victoria Park" Available Now on DVD and VCD

Yeay! Movie of the Year of Guardians e-Awards 2010 is now available on DVD and VCD.

FYI, a booklet of the film was inserted as bonus :)

Thanks to Dewi Umaya for the info & pic!

Credit: Dewi Umaya Rachman

After GeA 2010

Kami merasa bahagia sekaligus terharu mendapatkan sambutan positif dari mereka yang terpilih sebagai Guardians e-Awards (GeA) 2010 Receivers.

Berikut beberapa diantaranya...



"Senang sekali mendengarnya, pada akhirnya karya film kami diapresiasi oleh masyarakat. Kerja keras tim kami selama 2 tahun tidak sia-sia. Sekali lagi terima kasih untuk GeA 2010 dan juga audience yang telah berpartisipasi. Semoga di tahun mendatang kami bisa tetap berkarya" (Lola Amaria)


"Senang lah...saya kan selalu senang :) Begitu film selesai dibuat, seorang filmmaker seharusnya sudah senang. Penonton banyak itu bonus. Penghargaan itu bonus khusus. Terimakasih sudah kasih saya bonus khusus." (Titien Wattimena)



"Wah seru dong :) btw tenkyu ya and cheers!!!"
(Anda Perdana)

"Mantab, awardnya terima kasih ya. Kita sangat menghargainya. Salam buat Melly dan Aca."
(Aksan & Titi Sjuman)


Selain itu kami hendak menyampaikan terima kasih yang teramat dalam kepada:

1. Mellyana Manuhutu (Finally... this year :) Really proud of you sista!)
2. FilmFanatic Indonesia (Thanks a million untuk penyediaan materi festival screening-nya :) Next year lagi ya :))
3. Icha dan teman-teman di Fikom Unpad, Jahja cs di Fikom UGM, serta all music & movie bloggers (terima kasih sekali untuk waktu dan kesabaran, kejelian serta debat kritis kalian yang membangun)
4. Lola Amaria, Titien Wattimena, Bonita Adi, Anda Perdana, Rayya Makarim, Shareefa Daanish, The Mo Brothers, Verdi Solaiman, Adityawan Susanto, GIGI, Superman is Dead, Zigaz, Xtina News dan teman-teman narasumber lainnya (Thank you very much for your co-op. It was fun guys :))
5. All movie buff, music mania, voters dan teman-teman yang telah membantu terlaksananya GeA 2010

Sampai jumpa di GeA 2011!



Salam Kompak,


Mellyana's Guardians

Movie Review: Minggu Pagi di Victoria Park


Alie (bukan nama sebenarnya) pernah bercerita pada saya dengan menggebu-gebu. Perempuan yang kala itu berumur 20 tahun menuturkan bahwa dirinya sangat menikmati pekerjaan sebagai babu di Hong Kong. Apa enaknya, batin saya. Karena jelas-jelas profesi yang berlabel keren TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau lebih spesifik TKW (Tenaga Kerja Wanita), tidak menarik lantaran berita-berita kelam yang selama ini tersiar di media massa domestik dan luar negeri.

Tapi Alie tidak berhenti meyakinkan saya dengan membeberkan hubungan baiknya dengan anak asuh serta majikannya di daerah administratif Republik Rakyat China (RRC) tersebut. Kolase potret yang ditempelnya pada secarik kertas Asturo pink -sesuai warna favorit Alie- disertai diary berisi catatan rutinitas dan memo dari “keluarga”nya di Hong Kong ia pamerkan kepada saya. Dari situ, saya percaya bahwa ia tidak sedang membual. Satu pertanyaan yang kemudian saya ajukan untuk Alie, “Benarkah menjadi TKW membahagiakan?”. Alie hanya tersenyum lebar.

Pertanyaan tujuh tahun silam itu akhirnya terjawab ketika saya menonton Minggu Pagi di Victoria Park (MPdVP). Mayang (Lola Amaria) diminta oleh ayahnya untuk mencari adiknya, Sekar (Titi Sjuman) yang bekerja sebagai TKW di Hong Kong. Dari petikan dialog dan flashback scene yang tersaji, kita kemudian akan tahu bahwa hubungan ketiga tokoh itu tidak harmonis. Tidak bisa menolak, Mayang pun akhirnya menyusul Sekar. Ia ikut larut dalam kisah buruh migran Indonesia di negeri orang.

Persoalan buruh migran di negara kita sebenarnya sudah menjadi perhatian dunia. Pada konferensi WCAR (World Conference Against Racism) tahun 2001 yang digelar di Durban, Afrika Selatan, buruh migran menjadi salah satu pokok bahasan penting. Masyarakat internasional menganggap buruh migran sebagai entitas sosial yang dalam sejarah kemanusiaan senantiasa menghadapi tantangan rasialisme, perbudakan, diskriminasi dan bentuk-bentuk tindakan intoleransi lainnya (Tempo, 17 Juni 2004).

Dari pembahasan itu, terdapat kemajuan berupa pengakuan hak-hak buruh migran. Dokumen-dokumen yang dihasilkan dalam WCAR, yang menjadi landasan program aksi bersama negara-negara, terdapat klausul-klausul yang mengukuhkan eksistensi buruh migran (termasuk di dalamnya domestic helper) sebagai subyek yang harus dilindungi hak-hak asasinya. Terdapat pula keharusan untuk menghindari terjadinya proses human trafficking (perdagangan manusia) serta dihargainya hak-hak keluarga buruh migran untuk berkumpul kembali di negara tujuan bekerja. Dokumen itu juga sepakat bahwa buruh migran memiliki hak atas upah yang sama, asuransi sosial, status hukum yang sama dengan buruh setempat dan menghargai hak-hak ekspresi kultural.

Indonesia sebagai salah satu penyumbang TKW terbesar di dunia diminta lebih memperhatikan nasib warga negaranya. Karena, kaum perempuan dalam konstruksi masyarakat patriarkis rentan terhadap tindak kekerasan yang berbasis pada diskriminasi jender. Kasus-kasus pelecehan seksual, kekerasan fisik, perkosaan yang mengakibatkan kematian masih sering dialami buruh migran Indonesia. Pemerintah Indonesia pun sudah merespon dengan terbentuknya Letter of Intent antara Indonesia dengan Malaysia. Seperti kita ketahui, Malaysia adalah negara yang paling bermasalah dengan TKW Indonesia. Apakah hanya sampai disini tindakan Pemerintah? Tugas berat sudah pasti menunggu karena munculnya TKW disebabkan oleh minimnya lapangan kerja.

Dalam MPdVP, Lola Amaria sebagai sutradara tidak membidik kegagalan -tidak mungkin saya bilang sukses untuk korban seperti Maemunah dan Siti Hajar kan?- Pemerintah kita dalam menangani TKW. Mungkin ia ingin memberi penyeimbang, bahwa nasib TKW tak melulu menyedihkan. Memang benar. Karena dalam kenyataannya, buruh migran Indonesia juga pernah mendapat apresiasi dari luar. Salah satunya Elly Anita, TKW di Irak, yang dinobatkan sebagai Pahlawan Antiperdagangan Manusia oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, tahun 2009. Dan di filmnya yang kedua sebagai sutradara setelah Betina (2006), Lola berhasil menggugah semangat buruh perempuan sekaligus menyodorkan bukti kepada orang awam seperti kita bahwa menjadi TKW bisa membahagiakan.

Beberapa adegan yang bisa membuat Anda menyetujui kalimat diatas:

* Ketika Mayang dibantu oleh Sari (Imelda Soraya) untuk menyampaikan nasehat pada anak majikannya.

* Yati (Permata Sari Harahap) bisa diterima oleh lingkungan TKW sebagai lesbian. Perlakuan istimewa yang mungkin tidak akan ia dapati di Indonesia.

* Sekar masih bisa menunggak membayar sewa kontrak kamarnya. Ini bukti orang asing masih toleran terhadap TKW.

* Pada saat majikan Mayang memastikan keadaan buruhnya baik-baik saja dan mereka meminta Mayang untuk menceritakan masalah pribadinya.

* Sari mengatakan akan membeli sawah untuk orangtuanya di desa.

Menyaksikan MPdVP membuka mata kita tentang kehidupan TKW dari berbagai segi. Tidak hanya ekonomi (disebut Pahlawan Devisa) dan politik (sentilan Super Kredit), tetapi lebih dari itu telah “menyengat” jiwa sosial dan budaya kita. Jika ada yang menertawakan musisi favorit para TKW, tidak tahu dari apa hati orang itu terbuat. TKW berhak bahagia. Diantara padatnya jadwal kerja dan keterasingan, mendengarkan musik mungkin satu-satunya cara yang bisa menjadi penawar rasa sepi akan tanah air dan keluarga. Tanya diri sendiri, berapa banyak dari kita yang cinta lagu Indonesia? TKW hidup di negeri orang tetapi membuktikan nasionalisme mereka lebih besar dari kita yang hidup di negeri sendiri.

Titien Wattimena telah kembali ke “jalan”nya. Ia mengurutkan setiap kasus dari yang sederhana, rata-rata hingga kompleks ke dalam draft skenario yang menakjubkan. Apa yang ada di otak Titien tersalurkan juga ke otak penonton. Ia sudah menjalankan brainstorming dengan baik. Begini seharusnya seorang Titien bekerja!

Penyuntingan film ini berjalan mulus, maka sudah tepat jika Lola menggandeng Aline Jusria. Durasi sekitar 100 menit tak terasa lama, bahkan bisa memberi candu! Timing biasa menjadi duri dalam daging untuk produser dan sutradara. Tetapi saya rasa, Aline -yang juga ikut bermain- sudah membuat kedua pihak bernafas lega.

Teori sinematografi dikuasai sampai sel terdalam oleh Yadi Sugandi. Jadi rasanya ia cuma bermain-main dengan incedent meter dan contrast finder saja. Bermain saja sudah seperti ini hasilnya.

Satrio Budiono dan timnya bisa membaurkan antara alam dengan efek suara. Bising saat di bar dan Victoria Park, kemudian meredup senyap di flat. Sangat mendukung unsur visual.

Rico Marpaung yang punya reputasi bagus lewat Garasi (2006) dan LoVe (2008), sekali lagi menyampaikan pesan: less is more. Tata artistik tidak hanya harus menyesuaikan dengan setting dan waktu, tetapi juga harus bisa diterima akal. Contoh mudah, compang-campingnya Mayang terlihat solid dengan profesi yang ia jalani di desa. Penonton tidak akan percaya kalau seorang tokoh miskin hanya dari pakaian dan atribut yang melekat di badannya. Tetapi itu jelas bukan di film ini.

Aksan dan Titi Sjuman lagi-lagi bekerja dengan baik di departemen musik. Jika mau jujur, cerita yang buruk pun bisa terlupakan sejenak hanya karena musik bikinan mereka. Tapi, sekali lagi itu tidak berlaku di film ini.

Semua aktor -utama hingga figuran- memberi warna positif. Jarang sekali kita menonton film nasional dengan pemilihan cast yang sempurna. Barangkali yang pertama tahun ini. Lola Amaria dan Titi Sjuman tidak menenggelamkan pemain lainnya. Pada kenyataannya, setiap tokoh (lengkap dengan ekspresi dan dialognya) terus membekas hingga pintu bioskop dibuka kembali. Seperti inilah yang kita harapkan ketika menikmati sebuah pertunjukan!

Penyutradaraan, skenario, sinematografi, penyuntingan, tata suara, tata musik, akting = Excellent

Artistik, tata rias, wardrobe = Very Good



Ps. Jangan kaget jika dalam film ini muncul Christina Aguilera versi Indonesia. Entah kebetulan atau tidak, artis aslinya baru saja merilis album.



4/5



(KP/110610)