Media

Padi: Lain Dunia
Padi mencapai usia 13 tahun dan sebuah single baru lahir.

Oleh : Wening Gitomartoyo


Sepanjang perjalanan karier padi selama 13 tahun, kini mereka mencoba langkah baru. Alih--alih merilis album baru setelah album ter-akhir Tak Hanya Diam (2007), sebuah single barulah, “Terbakar Cemburu”, yang menjumpai dunia musik Indonesia. Warna yang sangat khas Padi ada di situ. Melodi yang menggenggam telinga sejak pendengaran pertama dan aransemen yang kompleks. Inilah ragam pop rock yang sudah menjadi tanda tangan Padi selama ini.

Padi, Single Baru, dan Playback
Vokalis Andi “Fadly” Arifuddin, gitaris Ari Tri Sosianto dan Satriyo “Piyu” Yudi Wahono, pemain bas Rindra Risyanto Noor dan pemain drum Surendro “Yoyo” Prasetyo adalah personel-personel awal yang hingga kini masih bersatu tanpa pernah tergantikan. Dimulai dari single “Sobat” dalam album Indie Ten, di tahun 1999 Padi merilis album perdana Lain Dunia yang penuh peluru berkat lagu-lagu hit “Begitu Indah”, “Mahadewi”, dan “Sobat”.

Berikutnya adalah Padi yang konsisten melepaskan album-album yang menggelegak dengan mutu seperti Sesuatu yang Tertunda (2001), Save My Soul (2003), Padi (2004), hingga Tak Hanya Diam. Beberapa saat setelah merilis album itu, dalam wawancara dengan ROLLING STONE, Piyu menyatakan bahwa dirinya memasuki level penulisan lirik yang baru. Berbeda dengan album-album awal dengan lirik yang lebih personal, Piyu menjadi orang lain dan berbicara tentang ‘kami’ dan ‘kita’.

Padi yang sekarang, mengutip Piyu dan Fadly, adalah munculnya pengendapan Padi dari album pertama hingga kelima. “Kami sudah melewati berbagai macam perbedaan karakter musik, pengembangan cara bertutur lirik, dan eksplorasi dalam bentuk sound. Ibaratnya kami kembali lagi ke akar dasar musik Padi. Ideal ataupun tidak ideal, menurut kami, kami sudah pernah mencoba eksplorasi. Kalau tidak dibatasi, kami tidak akan berhenti. Maka mungkin satu-satunya alasan untuk membuat itu berhenti atau selesai adalah kami sudah pernah melewatinya,” jelas Piyu.

Lagu “Terbakar Cemburu” menjadi personifikasi yang paling tajam untuk menunjukkan itu, karena ia mengandung esensi album pertama sampai terakhir. “Ada warna anthem-nya yang kental di album kelima, sementara lirik yang lebih personal itu khas di album satu dan dua,” kata Piyu lagi.

Padi baru-baru ini juga membuat berita dengan penolakannya untuk bermain secara playback di acara-acara musik televisi. Ucapan Piyu di Twitter yang sempat membuat geger adalah, “Daripada main playback, lebih baik Padi bubar!” Hal prinsipil bagi Padi ini bukan untuk dibengkokkan, walau bukan pula berarti bahwa mereka tidak terbuka pada perundingan. Piyu menjelaskan sudut pandangnya, “Kami sangat mengerti bahwa ini masalah teknis. Kami juga bisa bernegosiasi: ‘Kalau ada sesuatu yang nggak bisa Anda lakukan, maka kami bisa melakukannya.’ Dalam hal produksi, kami punya orang untuk itu. Jika ada kebijakan bahwa di jam tertentu harus menayangkan band tertentu, saya bisa telepon sponsor [yang akan beriklan di jam itu]. Saya mau bantu, karena ini hal yang mudah. Kalau mau dibicarakan, ada jalannya. Yang saya sayangkan, yang mendukung kami adalah penggemar, bukannya sesama musisi. Dan ini membuat kami merasa bahwa apa yang kami lakukan adalah sebuah kebenaran. Bukan mengada-ada atau menyalahkan keadaan. Apalagi cari sensasi.”

Fadly meneruskan: “Kami sudah menawarkan diri untuk bekerja sama, mencoba dalam kondisi kami sebagai mitra dengan mengajukan syarat-syarat. Tapi itu nggak diterima. Bukan mau mengintimidasi atau merebut pengaruh, tapi kami akan melakukan yang kami sukai. Dan kami mencintai main live, kami mencintai momen setiap menyanyikan ‘Begitu Indah’ yang ke-1000 atau ke-2000 kali, karena setiap momen punya kesan bagi kami pribadi, dan mungkin bagi Sobat Padi [julukan bagi penggemar Padi]. Yang dikenang adalah momen itu sendiri. Kami mencintai sesuatu yang natural, kesalahan-kesalahan natural, itulah yang membuat kami hidup.”

Walau teguh pada prinsip mereka, Padi jelas bukan orang-orang yang kaku. Karena dalam kondisi musik Indonesia terkini, mereka justru bersifat taktis dalam merilis sebuah single baru, yang pada saatnya akan menuju album baru. Pemikiran ini, menurut Piyu, dipraktikkan setelah melihat bahwa untuk mengeluarkan album penuh pada masa sekarang menjadi tidak terlalu efektif. “Bukan berarti salah ya, tapi bagi musisi ini bisa sangat merugikan, dalam arti musikalitas dan estetika berkesenian,” jelasnya. Satu album yang bisa mencakup sepuluh lagu akan memasuki masa promosi yang lazimnya mengangkat sebuah single saja.

“Iya kalau kemudian ternyata ada tiga sampai empat single. Kalau hanya satu single yang jalan, lagu-lagu yang lain nggak akan didengar. Lalu satu single itu akan dimutilasi menjadi Ringback Tone (RBT) berdurasi 30 detik. Buat apa membuat album begitu capeknya selama berbulan-bulan kalau begitu?”

Namun ini tidak berarti bahwa Padi kemudian berserah dan berhenti menghasilkan album-album cerdas di masa mendatang. “Terus terang saja kami tidak takut untuk melakukan itu [merilis album], karena kami yakin apa yang kami lakukan selalu bermuara pada album. Kami tahu pasti, walau kami tidak tahu jumlah orang yang beli CD, tapi kami merasa optimis bahwa tetap akan ada yang membeli CD kami. Namun dalam kondisi sekarang, nggak ada salahnya mengeluarkan single,” kata Piyu.

Padi dan Kondisi Musik Indonesia Kini
Piyu sebagai salah seorang penggiat E-Motion Entertainment, sebuah label musik, badan manajemen artis, dan perusahaan content provider, tentu saja fasih berbicara mengenai keadaan musik Indonesia. Penjualan musik secara digital telak mengalahkan penjualan secara fisik, situasi di mana RBT menjadi penentu populer tidaknya sebuah nama. Merilis single atau album mini di tengah serbuan nama-nama yang meng-andalkan RBT menjadi jalan yang dipilih oleh banyak musisi yang justru telah lebih dulu merintis karier. Ini juga yang menjadi perhatian Piyu, dengan posisinya sebagai musisi sekaligus pihak label. “Ironis, bahwa pihak telco sekarang ini sudah seperti raja industri musik. Terus terang, saya kecewa dengan adanya saluran distribusi baru yang digunakan oleh perusahaan telco. Mereka tidak pernah mengajak bicara pencipta lagu atau artis. Misalnya, ‘Ayo kita bicara, kalian mau seperti apa, industri mau dibawa ke mana? Apa hak cipta kalian sudah terpenuhi? Apa kalian sudah mendapatkan hak yang layak? Apa sudah dapat royalti yang cukup?’ Nggak pernah. Itu yang saya sayangkan.”

Menurut Piyu, musisi sebagai produsen karya justru tidak pernah diajak diskusi oleh pelaku content provider atau label. Ia mengaku beruntung karena bisa menyebut dirinya sebagai pelaku industri, produser, maupun orang label. “Tapi ketika saya datang ke acara-acara, mereka [pihak content provider atau label] tidak melihat saya sebagai musisi tapi sebagai rekan. Mereka meng-ajak, ‘Ayo, kita menjadi kaya bersama-sama’. Tapi tidak ada artis atau pencipta lagu di situ. Ironis sekali. Tapi saya juga tidak mungkin meneriakkan hak pencipta lagu di tempat itu.”

Ini dinilai Piyu yang membuat industri musik Indonesia menjadi tak seimbang. Walau semua sudah diatur sedemikian rupa, musisi tidak siap dengan perkembangan teknologi yang cepat karena musisi tidak pernah diajak duduk bersama dan mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Dahulu RBT adalah bonus setelah pendapatan utama yang berasal dari penjualan kaset dan CD, namun sekarang begeser menjadi pendapatan utama. “Yang dibicarakan pada akhirnya adalah konteks, bukan kualitas musik. Konteksnya adalah bagaimana menjual musik. Uang, uang, uang, tapi mereka tidak bisa membuat itu jadi sesuatu yang timbal balik. Apakah musisinya bahagia? Saya nggak tahu isi hati mereka. Itu yang membuat kami merasa seperti bukan di rumah sendiri. Rumah kami adalah musik tapi kami tidak merasa ada di rumah sendiri,” sambungnya lagi.

Padi menganggap label mereka Sony Music Entertainment Indonesia adalah pihak yang selalu mendukung mereka. Namun terlepas dari itu, hal pertama yang membuat mereka terus berjalan adalah musik. Sejak album pertama, mereka sudah berjalan dengan mandiri. Konsep videoklip dan promosi juga hingga album kelima diurus oleh Padi, termasuk launching album kelima yang diadakan di kapal perang KRI Teluk Mandar II yang mengarungi Teluk Jakarta pada pertengahan November 2007.

Membelah Padi
Proses kreatif Padi dalam menghasilkan karya benar-benar melibatkan seluruh personel untuk bertukar pikiran. Piyu bertutur bahwa mereka seolah memiliki sebuah blueprint atau dasar lagu, yang kemudian akan dikembalikan ke mesin yang bernama mesin Padi. Mereka mengaku tidak pernah membuat lagu yang untuk kemudian diisi bagian gitar, bagian drum, atau vokal secara terpisah. “Harus ada interaksi antara saya dengan personel lain, juga untuk merumuskan lirik yang nantinya bisa dicerna sebaik mungkin oleh orang-orang,” katanya.

“Apapun eksplorasinya, asal tetap berlima maka itu jadi musik Padi. Masing-masing punya investasi. Dalam satu lagu, semuanya terlibat dan urun rembug, apa-pun pengaruh mereka, apapun progresinya,” tambah Rindra.

Padi di usia ke-13 juga tentu sudah melewati banyak hal. Perubahan mutlak ada di sepanjang jalan itu. “Kebetulan kami juga baru menyadari bahwa kami telah cukup banyak mengeluarkan karya. Terus terang, saya baru sadar ketika baru-baru ini tampil di acara Harmoni SCTV. Lagu-lagu kami diaransemen ulang oleh Andi Rianto. Saya bukan mau besar kepala, tapi saya disadarkan akan betapa kuatnya melodi-melodi lagu yang kami miliki, sehingga membuat mereka jadi lebih mudah untuk dieksplorasi. Ketika itu terjadi, ada keyakinan untuk saya sebagai pribadi bahwa kami bisa melakukan ini untuk beberapa tahun lagi ke depan. Bukan dalam arti membatasi, karena dalam beberapa tahun ke depan, saya juga nggak tahu media atau format musik yang akan kami hadapi atau yang dipakai di industri seperti apa. Tapi paling tidak, sepanjang tiga sampai lima tahun ke depan, kami masih bisa menikmati musik seperti itu,” ujar Piyu. “Karena lagu itu adalah sesuatu yang penting, dan tidak akan dimakan oleh zaman,” sambung Fadly.

Karier belasan tahun tentu juga memerlukan bahan bakar. Pemandangan band-band seumuran mereka atau bahkan di atas Padi yang masih tetap tampil adalah apa yang membakar mereka. “Kalau sudah lihat itu, langsung terasa, ‘Wah, sudah terlalu lama kami nggak bikin apa-apa’,” kata Piyu. Fadly berkata bahwa mereka, entah bagaimana caranya, terus bisa menguatkan satu sama lain. “Di saat yang satu lemah, yang lain bisa menopang. Energinya entah dari mana, tapi itu terjadi. Itu mungkin yang menguatkan kami, dan kami bahagia punya sesuatu yang seperti ini.” Sementara Yoyo sambil berseloroh menambahkan, “Jarang ketemu saja. Kalau jalan bareng terus seperti di tur, eneg juga ‘rek lihat Fadly lagi Fadly lagi, ha-ha-ha.”

Padi juga adalah salah satu band yang konsisten merilis karya dengan mutu yang terjaga. Judul album pertama mereka, Lain Dunia, dianggap menggambarkan jelas musik Padi. Sejak pertama kali muncul, sejak itulah gaya Padi keluar. Tanpa pernah melihat dan tanpa peduli tren yang sedang berjalan seperti apa. “Kami memang seperti memiliki dunia sendiri,” kata Piyu. “Ada juga pemikiran bahwa karena sebuah lagu yang direkam akan dikenal terus, kami nggak mau bahwa sepuluh tahun ke depan, misalnya, anak saya malu karena lagu ayahnya jelek. Kami ingin juga punya kebanggaan ketika anak-anak kami berucap, ‘Ayahku ternyata bikin lagu seperti ini, susah juga ya’,” ujarnya sambil terbahak.

“’Apa yang datang dari hati akan sampai ke hati’, itu kata-kata Rhoma Irama kepada Iwan Fals,” tutur Fadly. “Intinya, kami berusaha melakukan apa yang benar-benar kami rasakan, kami berempati dari kisah-kisah orang lain, dan itu yang kami sampaikan, bukan sesuatu yang dipesan. Musik yang dibilang seragam sekarang adalah pilihan orang, kami tidak mau ada di pro atau kontra, kami bukan band yang suka menanggapi band lain. Kami hanya melakukan apa yang kami sukai, dan kami akan melakukan yang terbaik yang kami punya. Itu sudah cukup bagi kami.”

Padi sebagai tempat berkumpul dan berkarya pun pada akhirnya menjadi keluarga yang solid, seperti kata Ari. Piyu menggambarkan Padi sebagai rahim, tempatnya untuk berkembang. Padi bagi Fadly adalah rumah yang paling menyenangkan. Yoyo memandang Padi sebagai tempat terakhirnya, berangkat dari satu tujuan dan visi yang sama, dengan cita-cita yang sama. Rindra jujur mengatakan bahwa Padi adalah salah satu tujuan hidupnya. “Kalau Padi bubar, saya akan pulang ke Balikpapan. Tidak terpikir sama sekali untuk berkiprah di band lain atau berkarier solo. Lebih baik saya pelihara bebek atau jadi santri saja [tertawa].”

Sumber & Foto: RollingStone Indonesia (Mei 2010)

4 comments:

Anonymous said...

how lucky i am :) untung jadi fansnya PADI :)

Anonymous said...

aku juga fanz padi hehe *ani3s*

Anonymous said...

aku juga fans padi hehe anis)

Mellyana's Guardians said...

all: FYI, Mellyana Manuhutu juga salah satu fans Padi. Malah ingin banget berkolaborasi sama mereka dari dulu :)