Film Review: KITES

What the hell was that?

Entertainment is Las Vegas, benar? Kemudian, partisipasi aktif macam apa yang telah disumbangkan oleh India untuk Casino Royale? Tolong untuk sekali saja, jangan bersikap narsis, Bollywood!


Masih terbahak-bahak saya melihat “kegemparan” My Name is Khan (2010) kemarin. Imajinasi pekerja film Hindi memang luar biasa. Mereka datang dengan aktor asing, kru asing, syuting mengelilingi benua tapi cerita tetap saja... off-key.

Kali ini konon orang India menjadi penakluk Vegas, namun untuk menangkap dua orang saja -yang nyata bukan superhero- kewalahan luar biasa. J (Hrithik Roshan) dan Natasha (Barbara Mori) adalah pasangan berbeda ras, Hindi dan Meksikan. Mereka datang ke Vegas dengan satu tujuan, uang. Dan selanjutnya cinta lebih penting dari segalanya. Oh ya?

Inilah 5 kegusaran saya selama menonton Kites:

1. Irasional
Sebagai negara pengusung teknologi nomor wahid di dunia bukan berarti bisa seenaknya menjalankan cerita. Mana ada? Satu, orang India menjadi pemilik kasino terbesar di Vegas? Yang benar saja. Bahkan tercatat dalam histori pun tidak. Kedua, orang Amerika bisa dikelabui oleh dua orang imigran yang nobody? Khayalan a la Bonnie & Clyde (1967) ini mungkin berlaku di Bunty aur Babli (2005) yang settingnya memang di India. Tetapi tidak di negara adidaya itu.


2. Menggampangkan Sesuatu
Dari awal sampai akhir film, sepertinya mudah saja untuk hidup di negeri orang. Hidup seorang diri namun bisa jadi dance master kelas A, bisa mengawini sembarang orang, berpakaian tetap necis dan bahkan sanggup “menikam” mafia Vegas. Wow!


3. Berlebihan
Secara filmis, hampir semua aspek -teknis dan non- yang jatuh dari sinema Hindi masa kini akan jor-joran. Khusus film ini, mobil meledak dimana-mana. Sepertinya kita sedang dibawa bernostalgia ke masa 90-an. Inspector Vijay syndrome? Paling parah, musik meluap hingga banjir. Cukup untuk persediaan di musim kemarau.


4. Berimbas buruk bagi orang asing
Jarang sekali aktor asing yang dibawa bermain ke Bollywood bisa tampil bagus. Bisa dihitung dengan jari. Contoh acak diantaranya: Kseniya Ryabinkina dalam Mera Naam Joker (1970), dan Paul Blackthorne dalam Lagaan (2001). Tetapi lebih banyak yang memburuk. Martin Henderson yang lumayan di The Ring (2002) bisa mendadak lemah di Bride & Prejudice (2004). Ini terjadi pula pada figuran. Lihat betapa janggalnya akting stand-in pada scene J dan Nat menikah.


5. Pemborosan membabi-buta
Mengapa begitu? Karena untuk film yang ditargetkan menarik atensi internasional terhadap eksistensi Indian Cinema, seharusnya tidak secetek ini. Dengan modal besar, didukung kru, aktor, media, dan publicist asing tidaklah sulit. Lepaskan bayang-bayang Bollywood dengan imajinasi panggungnya. Sesekali buatlah mahakarya dengan pendekatan realitas. Money can buy anything, but CLASS.


Tidak ada yang perlu diberi kredit. Kalau Anda hanya membutuhkan hiburan (baca: gambar spektakuler), Robin Hood (2010) dan Shrek Forever After (2010) sudah menyediakannya. Malah, lebih mulia menonton film yang disebut terakhir. Karena ada hasil karya Griselda Sastrawinata, orang Indonesia yang menjadi tim kreatif animasi untuk perusahaan DreamWorks.

Baiklah. Untuk sejenak saya akan tersenyum demi Hrithik Roshan yang mulai menemukan tempat di hati gadis-gadis Blonde.


2/5


(KP/240510)

3 comments:

Anonymous said...

film india yang bagus apa aja sih

Mellyana's Guardians said...

@ anonim: Banyak juga film India yang bagus. Suatu saat MG buatkan list ya.

Anonymous said...

masih belum sempet nonton...tungguin dvdnya ajah hehehe