Belkibolang - The Producer



Ini dia yang ditunggu-tunggu. Setelah cukup lama Belkibolang cuma kami dengar lewat bisik-bisik dengan Titien Wattimena, akhirnya kini ia sudah percaya diri mengumumkan film itu rampung. Bahkan diputar di JiFFest 2010 saat premiere-nya, 27 November lalu. Dari awal, perempuan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menulis skrip film ini, mengatakan ia memproduksi Omnibus (sebagian menyebut Anthology). Apa yang menjanjikan?

Banyak kalau MG bilang. Kalau Anda suka Pulp Fiction (1994) atau Paris, je t'aime (2006) bisa jadi akan antusias. Tentu masih ingat, Titien pernah mencobanya di LoVe (2008). Yang berbeda, dulu ia duduk di belakang meja merangkap Asisten Sutradara untuk Kabir Bhatia. Sekarang ia menjadi orang paling sibuk dan sentral dalam produksi. Ia bersama temannya, Meiske Taurisia, memproduseri proyek Omnibus yang melibatkan sembilan sutradara. Hanya Agung Sentausa dan Ifa Isfansyah yang pernah mengerjakan feature film yang diedarkan massal oleh Production House besar. Nama lain seperti Wisnu Suryapratama, Azhar Lubis, Tumpal Tampubolon, dan Edwin lebih aktif di festival dan komunitas Indie. Sisanya, baru memulai debutnya. Rico Marpaung seorang Art Director dan Sidi Saleh adalah Cinematographer. Sementara Anggun Priambodo lebih dikenal sebagai Video Maker untuk klip musik dan commercial ad.

Inovasi yang dilakukan Titien dan rekan-rekannya pantas disambut standing ovation. Tidak banyak orang sini yang mau mengambil langkah sangat berani, menyatukan banyak nama dan bendera. Apa sebenarnya yang menggerakkan hati Titien?


MG (Mellyana's Guardians): Welcome back, Titien Wattimena! Selamat untuk Belkibolang, ya. Jadi sekarang sudah percaya diri menjadi produser film? Ini kali pertama Anda menyandang predikat tersebut bukan?

TW (Titien Wattimena): Iya. Di Belkibolang saya menjadi produser bersama Meiske Taurisia dan sembilan sutradara yang terlibat: Agung Sentausa, Ifa Isfansyah, Tumpal Tampubolon, Rico Marpaung, Anggun Priambodo, Azhar Kinoi Lubis, Wisnu Suryapratama, Edwin, dan Sidi Saleh. Yang bikin percaya diri karena ada Meiske dan sembilan sutradara tersebutlah.


MG: Sekian lama menulis skenario dan menjadi asisten sutradara, apa yang membuat Anda tertarik memproduseri sebuah film?

TW: Karena Belkibolang buat saya film yang 'unik'. Ada sembilan sutradara yang terlibat, ada sembilan cerita yang harus saya tulis, jadi sekalian saja saya jadi produsernya. Dalam artian semua dikerjakan secara 'mandiri', antara saya, Meiske dan sembilan sutradara, termasuk juga seluruh kru yang terlibat. Belkibolang juga memberi ruang untuk saya belajar sebanyak-banyaknya tentang menjadi produser dan bahkan menjadi penulis skenario untuk sembilan kepala yang berbeda-beda.


MG: Apakah film-film sebelumnya kurang mengakomodir ideologi Anda?

TW: Setiap film yang sudah saya tulis kasusnya beda-beda. Tapi ketika saya memutuskan mengerjakan Belkibolang sebenarnya bukan atas dasar membandingkan dengan film-film saya sebelumnya. Cuma based on keinginan membuat 'sesuatu' lagi aja.


MG: Lalu Belkibolang menjadi 'impian' Anda?

TW
: Belkibolang menjadi impian saya, Meiske dan semua yang terlibat sih. Nggak cuma saya saja. 'Indahnya berbagi' lah.

Meiske Taurisia

MG: Butuh berapa lama dari proses ide hingga post-production?

TW: Shooting film pertama yaitu Full Moon (segmen Sidi Saleh) dilakukan pada malam tahun baru 2010. Matahari pertama tahun 2010 ada di Full Moon. Selanjutnya tiap bulan kami syuting satu judul. September mulai masuk post-production sampai November 2010 ini diselesaikan.


MG: Sulit tidak untuk mengumpulkan 9 sutradara dalam 1 proyek?

TW: Sulitnya karena 9 sutradara ini ternyata super sibuk (tertawa). Sekaligus pastinya isi kepalanya beda-beda. Tapi seperti yang kalian (MG) bilang sebelumnya, mereka juga so sweet...


MG: Mereka yang menawarkan diri atau Anda yang meminta?

TW: Saya dan Meiske membuka ide kepada mereka. Di luar mereka ada beberapa nama lain yang kami tawarkan tapi karena satu dan lain hal, mereka memilih tak terlibat. Yang menerima ide kami dan mau bergabung jadinya ya sembilan sutradara yang keren-keren ini. Hehehe.


MG: Siapa saja cast didalamnya?
TW: Main Cast-nya, Payung: Dwi Sasono dan Vindy (pemain anak-anak), Percakapan Ini: Desta dan Marsha Timothy, Mamalia: Sapto Soetardjo dan Alexa, Planet Gajah: Panji Rahadi dan Girinda Kara, Tokek: Edwin dan ngng… saya. Hahahaha…. (tertawa). Ini beneran. Untung saya kebagian peran tidur doang. Lalu Peron: Vicky Satria dan Stevani Iskandar, Ella: Wisnu Kucing dan Ella Hamid, Roller Coaster: Anggun Priambodo dan Heidy Trisnawan, dan Full Moon: Ence Bagus dan Fitri Sugab.


MGAda berapa production house yang bersinergi?

TW: Time Code Production, Dermaga Films, Zuura Pictures, Renjani Films, dan babibutafilm.


MG: Apakah Belkibolang dibuat untuk memprotes film-film nasional yang sekarang cenderung vulgar dan berorientasi bisnis?

TW: Hmm… 'protes' rasanya bukan kata yang tepat. Karena sebenarnya tidak ada yang salah dengan orientasi bisnis. Bedanya di “mau untung besar atau untung kecil atau super kecil”. Bila masyarakat bisa meng-apresiasi film ini, Belkibolang mau nggak mau akan menjadi bisnis juga. Sayangnya, kemungkinan besar sih belum. Tapi filmmaker yang terlibat toh ingin membuat film seperti ini. Film yang sejauh ini, sepertinya tidak ada investor yang berani.

Oleh karena itu, kami memilih untuk membuat sendiri, atau kata lainnya swadaya. Semua patungan. Metode 'patungan' ini, untuk sementara waktu, bisa menjadi sebuah metode bikin film. Mungkin rasanya seperti Home Industry Film. Soal 'vulgar' itu maksudnya film seks ya? Kalau maksudnya itu, udah kayak telur dan ayam. Filmmaker buat, penonton mau, investor untung, filmmaker buat lagi, penonton nonton lagi, begitu terus. Dan mayoritas maunya bermain disini, sedikit yang jadi oposisi. So,  'oposisi' mungkin kata yang lebih tepat daripada 'protes'.


MG: Anda tentu juga tidak mau rugi, karena Anda seorang produser. Janji apa yang Anda berikan untuk investor?

TW: Belkibolang adalah hasil upaya berproduksi sendiri. Artinya semua kami siapkan sendiri, produksi sendiri dan jualan sendiri. Jadi investasi yang ada adalah ide dan semangat bikin film. Investornya adalah semua filmmaker. Bahasa kerennya, Belkibolang adalah social capital. Jadi kerugian material kami anggap tidak ada, kami ikhlas kok.

Titien Wattimena di lokasi syuting Belkibolang

MG: Benarkah film ini dibuat untuk segmen festival?

TW: Menurut saya tidak ada film yang dibuat khusus festival. Festival film dibuat sebagai platform untuk apresiasi film. Bila sebuah film berhasil masuk festival, artinya ada yang layak dihargai disana. Dan itu adalah hasil filmmaker tersebut. Belkibolang dibuat untuk menjadi sebuah laboratorium plus playground untuk filmmakers. Kami berharap untuk ada eksplorasi dan eksperimen disana, dan hasilnya semoga adalah pengalaman menonton yang baru untuk para penikmatnya. Kalau mendapat cap festival, itu bermanfaat untuk distribusi, karena itu adalah cap kepercayaan terhadap sebuah film, dan ini patut disyukuri.


MG: Anda ingin sekali Belkibolang diputar dimana? Apa alasannya.

TW: Kami mau banget diputar baik di festival, maupun commercial screening. Apalagi local commercial screening. Karena Belkibolang dibuat untuk dinikmati. Dan kita menawarkan kenikmatan yang 'unconventional'. Pengalaman yang berbeda dari menonton film Indonesia lainnya.


MG: Suami Anda (Rico Mangunsong) juga terlibat. Sejauh mana ia mendukung Anda mewujudkan 'impian'?

TW: Suami saya membantu di produksi setiap film, menyumbangkan beberapa supporting tools dan facilities yang membantu proses syuting dan secara pribadi memberi dukungan moril yang luar biasa ke saya. Dan saya rasa sih nggak cuma ke saya tapi ke teman-teman yang terlibat. Iya nggak sih teman-teman? (tertawa)


MG: Siapa saja yang menyokong proyek ini?

TW: Anyway, di luar para produser, ada para Co Producer yang membantu terwujudnya film ini, yaitu: suami saya Rico Mangunsong, sahabat kami Ibu Tutie Kirana, dan our partners in crime Danny Bayu dan David Febriawan.

Film ini bisa terwujud nggak cuma karena nama-nama yang kemudian muncul di permukaan seperti para Sutradara, para Pemain, para Produser dan Co Producer. Tapi banyak banget teman-teman yang terlibat, dan begitu mereka terlibat, mereka otomatis adalah pemilik film ini juga. Para Penata Fotografi dan timnya, para Asisten Sutradaranya, para Penata Artistik dan timnya, para Editor, para Penata Suara, para tim Produksinya, para Penata Musiknya, Penata Make Up dan Wardrobe, para penyedia fasilitas kamera dan lensa, tim Pasca Produksinya, bahkan sampai ke Runners Production-nya. Mereka adalah bukti bahwa dunia film Indonesia masih memiliki manusia-manusia yang luar biasa.



(MG/30112010) 

*Thanks a bunch to Mba Titien for the awesome interview :) Good luck for the film!
Photo Credits: Joen P. Ginting, Panji Rahadi (Thank you bro!)

2 comments:

Anonymous said...

belakangan ini aku suka banget sama film film yang ditulis titien...bentar lagi jd titien freak maybe? ha ha
rio/jakarta

Anonymous said...

Very promising from its trailer