New Tracks from Kelly Rowland, Lee Dewyze, Drake feat Alicia Keys, Ke$ha

Empat Lagu Hit Baru!











Download disini:
Preview lagu baru akan kami berikan hanya sebagai PROMOSI.
Tidak untuk disebarluaskan. Caranya: PM kami di Facebook


Attention! Download link isn't available on our blog after 24 hours. PM us on Facebook.

4 of Christina's New Tracks Leaked!


Empat Lagu Baru dari Album BIONIC - Christina Aguilera








Download disini:

Atas nama karya seni, silakan Anda beli album yang asli dan akan dirilis pada 8 Juni 2010. Preview lagu baru akan kami berikan hanya sebagai PROMOSI. Tidak untuk disebarluaskan. Caranya: PM kami di Facebook

Attention! Download link isn't available on our blog after 24 hours. PM us on Facebook.

Film Review: KITES

What the hell was that?

Entertainment is Las Vegas, benar? Kemudian, partisipasi aktif macam apa yang telah disumbangkan oleh India untuk Casino Royale? Tolong untuk sekali saja, jangan bersikap narsis, Bollywood!


Masih terbahak-bahak saya melihat “kegemparan” My Name is Khan (2010) kemarin. Imajinasi pekerja film Hindi memang luar biasa. Mereka datang dengan aktor asing, kru asing, syuting mengelilingi benua tapi cerita tetap saja... off-key.

Kali ini konon orang India menjadi penakluk Vegas, namun untuk menangkap dua orang saja -yang nyata bukan superhero- kewalahan luar biasa. J (Hrithik Roshan) dan Natasha (Barbara Mori) adalah pasangan berbeda ras, Hindi dan Meksikan. Mereka datang ke Vegas dengan satu tujuan, uang. Dan selanjutnya cinta lebih penting dari segalanya. Oh ya?

Inilah 5 kegusaran saya selama menonton Kites:

1. Irasional
Sebagai negara pengusung teknologi nomor wahid di dunia bukan berarti bisa seenaknya menjalankan cerita. Mana ada? Satu, orang India menjadi pemilik kasino terbesar di Vegas? Yang benar saja. Bahkan tercatat dalam histori pun tidak. Kedua, orang Amerika bisa dikelabui oleh dua orang imigran yang nobody? Khayalan a la Bonnie & Clyde (1967) ini mungkin berlaku di Bunty aur Babli (2005) yang settingnya memang di India. Tetapi tidak di negara adidaya itu.


2. Menggampangkan Sesuatu
Dari awal sampai akhir film, sepertinya mudah saja untuk hidup di negeri orang. Hidup seorang diri namun bisa jadi dance master kelas A, bisa mengawini sembarang orang, berpakaian tetap necis dan bahkan sanggup “menikam” mafia Vegas. Wow!


3. Berlebihan
Secara filmis, hampir semua aspek -teknis dan non- yang jatuh dari sinema Hindi masa kini akan jor-joran. Khusus film ini, mobil meledak dimana-mana. Sepertinya kita sedang dibawa bernostalgia ke masa 90-an. Inspector Vijay syndrome? Paling parah, musik meluap hingga banjir. Cukup untuk persediaan di musim kemarau.


4. Berimbas buruk bagi orang asing
Jarang sekali aktor asing yang dibawa bermain ke Bollywood bisa tampil bagus. Bisa dihitung dengan jari. Contoh acak diantaranya: Kseniya Ryabinkina dalam Mera Naam Joker (1970), dan Paul Blackthorne dalam Lagaan (2001). Tetapi lebih banyak yang memburuk. Martin Henderson yang lumayan di The Ring (2002) bisa mendadak lemah di Bride & Prejudice (2004). Ini terjadi pula pada figuran. Lihat betapa janggalnya akting stand-in pada scene J dan Nat menikah.


5. Pemborosan membabi-buta
Mengapa begitu? Karena untuk film yang ditargetkan menarik atensi internasional terhadap eksistensi Indian Cinema, seharusnya tidak secetek ini. Dengan modal besar, didukung kru, aktor, media, dan publicist asing tidaklah sulit. Lepaskan bayang-bayang Bollywood dengan imajinasi panggungnya. Sesekali buatlah mahakarya dengan pendekatan realitas. Money can buy anything, but CLASS.


Tidak ada yang perlu diberi kredit. Kalau Anda hanya membutuhkan hiburan (baca: gambar spektakuler), Robin Hood (2010) dan Shrek Forever After (2010) sudah menyediakannya. Malah, lebih mulia menonton film yang disebut terakhir. Karena ada hasil karya Griselda Sastrawinata, orang Indonesia yang menjadi tim kreatif animasi untuk perusahaan DreamWorks.

Baiklah. Untuk sejenak saya akan tersenyum demi Hrithik Roshan yang mulai menemukan tempat di hati gadis-gadis Blonde.


2/5


(KP/240510)

Media

Padi: Lain Dunia
Padi mencapai usia 13 tahun dan sebuah single baru lahir.

Oleh : Wening Gitomartoyo


Sepanjang perjalanan karier padi selama 13 tahun, kini mereka mencoba langkah baru. Alih--alih merilis album baru setelah album ter-akhir Tak Hanya Diam (2007), sebuah single barulah, “Terbakar Cemburu”, yang menjumpai dunia musik Indonesia. Warna yang sangat khas Padi ada di situ. Melodi yang menggenggam telinga sejak pendengaran pertama dan aransemen yang kompleks. Inilah ragam pop rock yang sudah menjadi tanda tangan Padi selama ini.

Padi, Single Baru, dan Playback
Vokalis Andi “Fadly” Arifuddin, gitaris Ari Tri Sosianto dan Satriyo “Piyu” Yudi Wahono, pemain bas Rindra Risyanto Noor dan pemain drum Surendro “Yoyo” Prasetyo adalah personel-personel awal yang hingga kini masih bersatu tanpa pernah tergantikan. Dimulai dari single “Sobat” dalam album Indie Ten, di tahun 1999 Padi merilis album perdana Lain Dunia yang penuh peluru berkat lagu-lagu hit “Begitu Indah”, “Mahadewi”, dan “Sobat”.

Berikutnya adalah Padi yang konsisten melepaskan album-album yang menggelegak dengan mutu seperti Sesuatu yang Tertunda (2001), Save My Soul (2003), Padi (2004), hingga Tak Hanya Diam. Beberapa saat setelah merilis album itu, dalam wawancara dengan ROLLING STONE, Piyu menyatakan bahwa dirinya memasuki level penulisan lirik yang baru. Berbeda dengan album-album awal dengan lirik yang lebih personal, Piyu menjadi orang lain dan berbicara tentang ‘kami’ dan ‘kita’.

Padi yang sekarang, mengutip Piyu dan Fadly, adalah munculnya pengendapan Padi dari album pertama hingga kelima. “Kami sudah melewati berbagai macam perbedaan karakter musik, pengembangan cara bertutur lirik, dan eksplorasi dalam bentuk sound. Ibaratnya kami kembali lagi ke akar dasar musik Padi. Ideal ataupun tidak ideal, menurut kami, kami sudah pernah mencoba eksplorasi. Kalau tidak dibatasi, kami tidak akan berhenti. Maka mungkin satu-satunya alasan untuk membuat itu berhenti atau selesai adalah kami sudah pernah melewatinya,” jelas Piyu.

Lagu “Terbakar Cemburu” menjadi personifikasi yang paling tajam untuk menunjukkan itu, karena ia mengandung esensi album pertama sampai terakhir. “Ada warna anthem-nya yang kental di album kelima, sementara lirik yang lebih personal itu khas di album satu dan dua,” kata Piyu lagi.

Padi baru-baru ini juga membuat berita dengan penolakannya untuk bermain secara playback di acara-acara musik televisi. Ucapan Piyu di Twitter yang sempat membuat geger adalah, “Daripada main playback, lebih baik Padi bubar!” Hal prinsipil bagi Padi ini bukan untuk dibengkokkan, walau bukan pula berarti bahwa mereka tidak terbuka pada perundingan. Piyu menjelaskan sudut pandangnya, “Kami sangat mengerti bahwa ini masalah teknis. Kami juga bisa bernegosiasi: ‘Kalau ada sesuatu yang nggak bisa Anda lakukan, maka kami bisa melakukannya.’ Dalam hal produksi, kami punya orang untuk itu. Jika ada kebijakan bahwa di jam tertentu harus menayangkan band tertentu, saya bisa telepon sponsor [yang akan beriklan di jam itu]. Saya mau bantu, karena ini hal yang mudah. Kalau mau dibicarakan, ada jalannya. Yang saya sayangkan, yang mendukung kami adalah penggemar, bukannya sesama musisi. Dan ini membuat kami merasa bahwa apa yang kami lakukan adalah sebuah kebenaran. Bukan mengada-ada atau menyalahkan keadaan. Apalagi cari sensasi.”

Fadly meneruskan: “Kami sudah menawarkan diri untuk bekerja sama, mencoba dalam kondisi kami sebagai mitra dengan mengajukan syarat-syarat. Tapi itu nggak diterima. Bukan mau mengintimidasi atau merebut pengaruh, tapi kami akan melakukan yang kami sukai. Dan kami mencintai main live, kami mencintai momen setiap menyanyikan ‘Begitu Indah’ yang ke-1000 atau ke-2000 kali, karena setiap momen punya kesan bagi kami pribadi, dan mungkin bagi Sobat Padi [julukan bagi penggemar Padi]. Yang dikenang adalah momen itu sendiri. Kami mencintai sesuatu yang natural, kesalahan-kesalahan natural, itulah yang membuat kami hidup.”

Walau teguh pada prinsip mereka, Padi jelas bukan orang-orang yang kaku. Karena dalam kondisi musik Indonesia terkini, mereka justru bersifat taktis dalam merilis sebuah single baru, yang pada saatnya akan menuju album baru. Pemikiran ini, menurut Piyu, dipraktikkan setelah melihat bahwa untuk mengeluarkan album penuh pada masa sekarang menjadi tidak terlalu efektif. “Bukan berarti salah ya, tapi bagi musisi ini bisa sangat merugikan, dalam arti musikalitas dan estetika berkesenian,” jelasnya. Satu album yang bisa mencakup sepuluh lagu akan memasuki masa promosi yang lazimnya mengangkat sebuah single saja.

“Iya kalau kemudian ternyata ada tiga sampai empat single. Kalau hanya satu single yang jalan, lagu-lagu yang lain nggak akan didengar. Lalu satu single itu akan dimutilasi menjadi Ringback Tone (RBT) berdurasi 30 detik. Buat apa membuat album begitu capeknya selama berbulan-bulan kalau begitu?”

Namun ini tidak berarti bahwa Padi kemudian berserah dan berhenti menghasilkan album-album cerdas di masa mendatang. “Terus terang saja kami tidak takut untuk melakukan itu [merilis album], karena kami yakin apa yang kami lakukan selalu bermuara pada album. Kami tahu pasti, walau kami tidak tahu jumlah orang yang beli CD, tapi kami merasa optimis bahwa tetap akan ada yang membeli CD kami. Namun dalam kondisi sekarang, nggak ada salahnya mengeluarkan single,” kata Piyu.

Padi dan Kondisi Musik Indonesia Kini
Piyu sebagai salah seorang penggiat E-Motion Entertainment, sebuah label musik, badan manajemen artis, dan perusahaan content provider, tentu saja fasih berbicara mengenai keadaan musik Indonesia. Penjualan musik secara digital telak mengalahkan penjualan secara fisik, situasi di mana RBT menjadi penentu populer tidaknya sebuah nama. Merilis single atau album mini di tengah serbuan nama-nama yang meng-andalkan RBT menjadi jalan yang dipilih oleh banyak musisi yang justru telah lebih dulu merintis karier. Ini juga yang menjadi perhatian Piyu, dengan posisinya sebagai musisi sekaligus pihak label. “Ironis, bahwa pihak telco sekarang ini sudah seperti raja industri musik. Terus terang, saya kecewa dengan adanya saluran distribusi baru yang digunakan oleh perusahaan telco. Mereka tidak pernah mengajak bicara pencipta lagu atau artis. Misalnya, ‘Ayo kita bicara, kalian mau seperti apa, industri mau dibawa ke mana? Apa hak cipta kalian sudah terpenuhi? Apa kalian sudah mendapatkan hak yang layak? Apa sudah dapat royalti yang cukup?’ Nggak pernah. Itu yang saya sayangkan.”

Menurut Piyu, musisi sebagai produsen karya justru tidak pernah diajak diskusi oleh pelaku content provider atau label. Ia mengaku beruntung karena bisa menyebut dirinya sebagai pelaku industri, produser, maupun orang label. “Tapi ketika saya datang ke acara-acara, mereka [pihak content provider atau label] tidak melihat saya sebagai musisi tapi sebagai rekan. Mereka meng-ajak, ‘Ayo, kita menjadi kaya bersama-sama’. Tapi tidak ada artis atau pencipta lagu di situ. Ironis sekali. Tapi saya juga tidak mungkin meneriakkan hak pencipta lagu di tempat itu.”

Ini dinilai Piyu yang membuat industri musik Indonesia menjadi tak seimbang. Walau semua sudah diatur sedemikian rupa, musisi tidak siap dengan perkembangan teknologi yang cepat karena musisi tidak pernah diajak duduk bersama dan mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Dahulu RBT adalah bonus setelah pendapatan utama yang berasal dari penjualan kaset dan CD, namun sekarang begeser menjadi pendapatan utama. “Yang dibicarakan pada akhirnya adalah konteks, bukan kualitas musik. Konteksnya adalah bagaimana menjual musik. Uang, uang, uang, tapi mereka tidak bisa membuat itu jadi sesuatu yang timbal balik. Apakah musisinya bahagia? Saya nggak tahu isi hati mereka. Itu yang membuat kami merasa seperti bukan di rumah sendiri. Rumah kami adalah musik tapi kami tidak merasa ada di rumah sendiri,” sambungnya lagi.

Padi menganggap label mereka Sony Music Entertainment Indonesia adalah pihak yang selalu mendukung mereka. Namun terlepas dari itu, hal pertama yang membuat mereka terus berjalan adalah musik. Sejak album pertama, mereka sudah berjalan dengan mandiri. Konsep videoklip dan promosi juga hingga album kelima diurus oleh Padi, termasuk launching album kelima yang diadakan di kapal perang KRI Teluk Mandar II yang mengarungi Teluk Jakarta pada pertengahan November 2007.

Membelah Padi
Proses kreatif Padi dalam menghasilkan karya benar-benar melibatkan seluruh personel untuk bertukar pikiran. Piyu bertutur bahwa mereka seolah memiliki sebuah blueprint atau dasar lagu, yang kemudian akan dikembalikan ke mesin yang bernama mesin Padi. Mereka mengaku tidak pernah membuat lagu yang untuk kemudian diisi bagian gitar, bagian drum, atau vokal secara terpisah. “Harus ada interaksi antara saya dengan personel lain, juga untuk merumuskan lirik yang nantinya bisa dicerna sebaik mungkin oleh orang-orang,” katanya.

“Apapun eksplorasinya, asal tetap berlima maka itu jadi musik Padi. Masing-masing punya investasi. Dalam satu lagu, semuanya terlibat dan urun rembug, apa-pun pengaruh mereka, apapun progresinya,” tambah Rindra.

Padi di usia ke-13 juga tentu sudah melewati banyak hal. Perubahan mutlak ada di sepanjang jalan itu. “Kebetulan kami juga baru menyadari bahwa kami telah cukup banyak mengeluarkan karya. Terus terang, saya baru sadar ketika baru-baru ini tampil di acara Harmoni SCTV. Lagu-lagu kami diaransemen ulang oleh Andi Rianto. Saya bukan mau besar kepala, tapi saya disadarkan akan betapa kuatnya melodi-melodi lagu yang kami miliki, sehingga membuat mereka jadi lebih mudah untuk dieksplorasi. Ketika itu terjadi, ada keyakinan untuk saya sebagai pribadi bahwa kami bisa melakukan ini untuk beberapa tahun lagi ke depan. Bukan dalam arti membatasi, karena dalam beberapa tahun ke depan, saya juga nggak tahu media atau format musik yang akan kami hadapi atau yang dipakai di industri seperti apa. Tapi paling tidak, sepanjang tiga sampai lima tahun ke depan, kami masih bisa menikmati musik seperti itu,” ujar Piyu. “Karena lagu itu adalah sesuatu yang penting, dan tidak akan dimakan oleh zaman,” sambung Fadly.

Karier belasan tahun tentu juga memerlukan bahan bakar. Pemandangan band-band seumuran mereka atau bahkan di atas Padi yang masih tetap tampil adalah apa yang membakar mereka. “Kalau sudah lihat itu, langsung terasa, ‘Wah, sudah terlalu lama kami nggak bikin apa-apa’,” kata Piyu. Fadly berkata bahwa mereka, entah bagaimana caranya, terus bisa menguatkan satu sama lain. “Di saat yang satu lemah, yang lain bisa menopang. Energinya entah dari mana, tapi itu terjadi. Itu mungkin yang menguatkan kami, dan kami bahagia punya sesuatu yang seperti ini.” Sementara Yoyo sambil berseloroh menambahkan, “Jarang ketemu saja. Kalau jalan bareng terus seperti di tur, eneg juga ‘rek lihat Fadly lagi Fadly lagi, ha-ha-ha.”

Padi juga adalah salah satu band yang konsisten merilis karya dengan mutu yang terjaga. Judul album pertama mereka, Lain Dunia, dianggap menggambarkan jelas musik Padi. Sejak pertama kali muncul, sejak itulah gaya Padi keluar. Tanpa pernah melihat dan tanpa peduli tren yang sedang berjalan seperti apa. “Kami memang seperti memiliki dunia sendiri,” kata Piyu. “Ada juga pemikiran bahwa karena sebuah lagu yang direkam akan dikenal terus, kami nggak mau bahwa sepuluh tahun ke depan, misalnya, anak saya malu karena lagu ayahnya jelek. Kami ingin juga punya kebanggaan ketika anak-anak kami berucap, ‘Ayahku ternyata bikin lagu seperti ini, susah juga ya’,” ujarnya sambil terbahak.

“’Apa yang datang dari hati akan sampai ke hati’, itu kata-kata Rhoma Irama kepada Iwan Fals,” tutur Fadly. “Intinya, kami berusaha melakukan apa yang benar-benar kami rasakan, kami berempati dari kisah-kisah orang lain, dan itu yang kami sampaikan, bukan sesuatu yang dipesan. Musik yang dibilang seragam sekarang adalah pilihan orang, kami tidak mau ada di pro atau kontra, kami bukan band yang suka menanggapi band lain. Kami hanya melakukan apa yang kami sukai, dan kami akan melakukan yang terbaik yang kami punya. Itu sudah cukup bagi kami.”

Padi sebagai tempat berkumpul dan berkarya pun pada akhirnya menjadi keluarga yang solid, seperti kata Ari. Piyu menggambarkan Padi sebagai rahim, tempatnya untuk berkembang. Padi bagi Fadly adalah rumah yang paling menyenangkan. Yoyo memandang Padi sebagai tempat terakhirnya, berangkat dari satu tujuan dan visi yang sama, dengan cita-cita yang sama. Rindra jujur mengatakan bahwa Padi adalah salah satu tujuan hidupnya. “Kalau Padi bubar, saya akan pulang ke Balikpapan. Tidak terpikir sama sekali untuk berkiprah di band lain atau berkarier solo. Lebih baik saya pelihara bebek atau jadi santri saja [tertawa].”

Sumber & Foto: RollingStone Indonesia (Mei 2010)

News: Dian Sastrowardoyo Menikah

Dian Sastro Jadi Nyonya Indraguna

Pemain film yang juga bintang iklan Dian Paramita Sastrowardoyo atau akrab disapa Dian Sastro resmi sudah menjadi istri bagi Maulana Indraguna Sutowo. Bertempat di Ballroom Hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (18/5/2010), Dian dan Indraguna menjalani akad nikah.

Gitaris grup Chaseiro Aswin Sastrowardoyo, yang juga merupakan paman Dian, menjadi wali dalam akad nikah Dian dengan Indraguna, yang menggunakan adat Yogyakarta, daerah asal keluarga Dian dan keluarga Indraguna. Akad nikah itu berlangsung khidmat sejak pukul 09.00 WIB.

Sebelum ijab kabul diucapkan, dalam acara akad nikah itu Dian sudah menuturkan bersedia untuk dinikahkan dengan Indraguna. "Saya tidak mampu menolak para sesepuh dan benar-benar punya ketetapan hati untuk menikah dengan putra Bapak Adiguna Sutowo yaitu Maulana Indraguna Sutowo," ucap Dian.

Dian, yang mengenakan kebaya berwarna off white karya perancang busana Edward Hutabarat dan rias pengantin oleh Tinoek Rifky, akhirnya secara resmi diikat oleh Indraguna dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas 185 gram.

Congrats, D!

Sumber & Foto: www.kompas.com

Media Scans: Billboard (Mei 2010)





Album Review: Melanie Fiona - The Bridge (2009)


In this hyperbolic music industry, you sometimes forget that hype can sometimes predict the real thing. On Melanie Fiona's inspiring debut one certainly gets reminded. The soul starlet from Canada delivers a top of the line debut album of old school R&B and big ballad soul pop with a lively contemporary twist. There are tinges of Deborah Cox in Fiona's vibrato, the strength of Monica in her runs and tone, and just enough of Lauryn Hill's resonance to make Fiona's flawless technique sound easy. While comparisons can be made, don't be fooled: Melanie Fiona is a uniquely talented vocalist in that "next big superstar" kind of way. There is a weight to her airy, tearful alto, a conviction that brings credibility to this eclectic selection of songs produced by major talents like Questlove (The Roots, D'Angelo). Not that Fiona has to worry about the quality of her songs. With proven songwriters like Andrea Evans (SWV, Angie Stone, Leona Lewis) at the helm, the results are catchy, melodic crossover tunes that move from pop to retro soul and urban adult contemporary, bridging all these genres without any loss in quality or integrity.

The Bridge is a rare mainstream album by a rare, highly accessible artist. Remember the name, Melanie Fiona; you'll be hearing more of it for years to come.

Notable songs: Give It To Me Right, It Kills Me, Walk On By, Monday Morning, and You Stop My Heart.

Vocals: 3.5 stars
Lyrics: 3 stars
Music: 3 stars
Production: 3.5 stars
SoulTracks Call: Highly Recommended

By L. Michael Gipson
www.soultracks.com

Tweet: on location of Composite Shoot, Kemang

Kemang, May 2

follow @mellymanuhutu

GeA 2010 In Competition (Part 2)

International Awards

Music Award:

We Sing. We Dance. We Steal Things. (Jason Mraz / Atlantic Records)
Evolver (John Legend / GOOD Music, Columbia Records)
BLACKsummers'night (Maxwell / Columbia Records)
Soul (Seal / Warner Bros.)
The Circle (Bon Jovi / Island Records)
The Fray (The Fray / Epic Records)
Fantasy Ride (Ciara / LaFace Records)
The Fall (Norah Jones / Blue Note Records)
All I Ever Wanted (Kelly Clarkson / RCA Records)
Crazy Love (Michael Bublé / 143/Reprise)
Working on a Dream (Bruce Springsteen / Columbia Records)
LOtUSFLOW3R (Prince / NPG Records)
The Foundation (Zac Brown Band / Atlantic/Bigger Picture Group)
Fearless (Taylor Swift / Big Machine Records)
I Am... Sasha Fierce (Beyoncé / Columbia Records)
The E.N.D. (The Black Eyed Peas / Interscope Records)
The Fame Monster (Lady Gaga / Streamline/Interscope/Konlive/Cherrytree)
Big Whiskey And The Groogrux King (Dave Matthews Band / RCA Records)
Only by the Night (Kings of Leon / RCA Records)
One of the Boys (Katy Perry / Capitol)
Funhouse (Pink / LaFace Records)
21st Century Breakdown (Green Day / Reprise Records)
No Line on the Horizon (U2 / Mercury/Island/Interscope)
Backspacer (Pearl Jam / Monkeywrench Records)
The Bridge (Melanie Fiona / SRC/Universal Motown/Roc Nation)
Intuition (Jamie Foxx / J Records)
Testimony: Vol. 2, Love & Politics (India.Arie / Soulbird/Universal Republic)
I Look to You (Whitney Houston / Arista Records)
Memoirs of an Imperfect Angel (Mariah Carey / Island Records)
R.O.O.T.S. (Flo Rida / Poe Boy/Atlantic Records)
For Your Entertainment (Adam Lambert / RCA Records)

Movie Award:

2012 (Dir. Roland Emmerich. Prod. Columbia Pictures; Centropolis Entertainment/ Sony Pictures)
3 Idiots (Dir. Rajkumar Hirani. Prod. Vinod Chopra Productions/ Reliance Big Pictures)
(500) Days Of Summer (Dir. Marc Webb. Prod. Watermark Pictures; Fox Searchlight Pictures)
An Education (Dir. Lone Scherfig. Prod. BBC Films; Wildgaze Films/ Sony Pictures)
A Single Man (Dir. Tom Ford. Prod. Artina Films; Depth of Field/ Sony Pictures)
A Prophet (Un Prophète) (Dir. Jacques Audiard. Prod. Why Not Productions; Chic Films/ Sony Pictures Classics)
Avatar (Dir. James Cameron. Prod. Lightstorm Entertainment; Twentieth Century Fox)
Crazy Heart (Dir. Scott Cooper. Prod. Fox Searchlight Pictures; Informant Media/ 20th Century Fox)
District 9 (Dir. Neill Blomkamp. Prod. TriStar Pictures)
Fantastic Mr. Fox (Dir. Wes Anderson. Prod. Twentieth Century Fox Film Corporation)
Harishchandrachi Factory (Dir. Paresh Mokashi. Prod. Mayasabha Productions; Paprika Media/ UTV Motion Pictures)
Harry Potter and the Half-Blood Prince (Dir. David Yates. Prod. Warner Bros. Pictures; Heyday Films/ Warner Bros.)
Inglourious Basterds (Dir. Quentin Tarantino. Prod. The Weinstein Company/ Universal Pictures)
Invictus (Dir. Clint Eastwood. Prod. Warner Bros. Pictures; Spyglass Entertainment; Revelations Entertainment/ Warner Bros.)
It's Complicated (Dir. Nancy Meyers. Prod. Relativity Media, Scott Rudin Productions; Universal Pictures)
Julie & Julia (Dir. Nora Ephron. Prod. Columbia Pictures; Sony Pictures Releasing)
Nine (Dir. Rob Marshall. Prod. The Weinstein Company/Relativity Media/Lucamar Productions/Marc Platt Productions)
Precious: Based On The Novel Push By Sapphire (Dir. Lee Daniels. Prod. A Lee Daniels Entertainment / Smokewood Entertainment Group Production; Lionsgate)
Sherlock Holmes (Dir. Guy Ritchie. Prod. Warner Bros. Pictures; Village Roadshow Pictures/ Warner Bros.)
Sun Spots (Dir. Yang Heng. Prod. Hu Tong Communications HK)
The Blind Side (Dir. John Lee Hancock. Prod. Alcon Entertainment; Zucker/Netter Productions/Warner Bros. Pictures)
The Hangover (Dir. Todd Phillips. Prod. Warner Bros. Pictures)
The High Life (Dir. Zhao Dayong. Prod. Lantern Films China HK)
The Hurt Locker (Dir. Kathryn Bigelow. Prod. Voltage Pictures; Summit Entertainment)
The Imaginarium of Doctor Parnassus (Dir. Terry Gilliam. Prod. Infinity Features Entertainment; Poo Poo Pictures/ Eagle Films)
The Last Station (Dir. Michael Hoffman. Prod. Egoli Tossell Film; Zephyr Films/ Sony Pictures Classics)
The Lovely Bones (Dir. Peter Jackson. Prod. DreamWorks SKG; Film4/ Paramount Pictures)
The Messenger (Dir. Oren Moverman. Prod. Oscilloscope Laboratories/ Oscilloscope Pictures)
The Princess and the Frog (Dir. Ron Clements, John Musker. Prod. Walt Disney Animation Studios/ Walt Disney Pictures)
The White Ribbon (Das Weisse Band, Eine Deutsche Kindergeschichte) (Dir. Michael Haneke. Prod. X Filme Creative Pool/Les Films Du Losange/Lucky Red/Wega Film; Sony Pictures Classics)
The Young Victoria (Dir. Jean-Marc Vallée. Prod. GK Films/ Sony Pictures)
True Legend (Su Qi-Er) (Dir. Yuen Woo-Ping. Prod. EDKO Film; Focus Features; Shanghai Film Group/ Golden Village Pictures)
Up (Dir. Pete Docter. Prod. Walt Disney Pictures; Pixar Animation Studios/ Walt Disney Studio)
Up In The Air (Dir. Jason Reitman. Prod. Paramount Pictures)


(MG/060510)

GeA 2010 In Competition (Part 1)

Indonesian Awards

Music Award:

Angels and Outsiders (Superman Is Dead / Sony Music Indonesia)
Anugrah Terindah (Geisha / Musica Studio's)
Balada Joni dan Susi (Melancholic Bitch / Dialectic Records)
Bersinar (Shaggydog / Fantasi Artist Media Entertainment)
GIGI (Gigi / Universal Music Indonesia)
Hertz Dyslexia (The S.I.G.I.T. / FFWD Records)
In Medio (Anda / Demajors)
My First Love (Vierra / Musica Studio's)
Sacredly Agnezious (Agnes Monica / Aquarius Musikindo)
The Dance Company (The Dance Company / Nagaswara)
The Headless Songstress (Tika and The Dissidents / Head Records)
The Story Of... (Netral / Kancut Record)

Movie Award:

Benci Disko (Dir. Rako Prijanto. Prod. Gope T. Samtani, Subagio S. / Rapi Film)
Bukan Malin Kundang (Dir. Iqbal Rais. Prod. Gope T. Samtani, Subagio S. / Rapi Film)
Capres (Dir. Toto Hoedi. Prod. Shankar Rs, Hasnan Abdullah / Ninefx Production)
Cin(T)a (Dir. Sammaria Simanjuntak. Prod. Adi Panuntun, M. Budi Sasono, Sammaria S. / Sembilan Matahari)
Emak Ingin Naik Haji (Dir. Aditya Gumay. Prod. Putut Widjanarko, Adenin Adlan / Mizan Productions & Smaradhana Pro)
Garuda di Dadaku (Dir. Ifa Isfansyah. Prod. Shanty Harmayn / Sbo Films & Mizan Productions)
Get Married 2 (Dir. Hanung Bramantyo. Prod. Chand Parwez Servia / Starvision Plus)
Heart-Break.Com (Dir. Affandi Abdul Rachman. Prod. Affandi Abdul Rachman / One Star Productions)
Identitas (Dir. Aria Kusumadewa. Prod. Deddy Mizwar / Citra Sinema & Tits Film Workshop - Esa Film)
Jermal (Dir. Ravi Bharwani, Rayya Makarim, Utawa Tresno. Prod. Orlow Seunke / Occo Films)
Kawin Laris (Dir. Cassandra Massardi. Prod. Mega Media & MM Insa Pictures)
Ketika Cinta Bertasbih 2 (Dir. Chaerul Umam. Prod. Mitzy Christina, Cindy Christina / SinemArt Pictures)
Krazy Crazy Krezy (Dir. Rako Prijanto. Prod. Sharad Sharan / 999 Pictures)
Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji (Dir. Gunawan Paggaru. Prod. Affandi Abdul Rachman / PT Alam Khatulistiwa)
Merah Putih (Dir. Yadi Sugandi. Prod. Hashim Djojohadikusumo, Conor Allyn, Rob Allyn / PT Media Desa Indonesia & Margate House)
Meraih Mimpi (Dir. Phil Mitchell. Prod. Mike Wiluan, Phil Mitchell, Phillip Stamp, Chan Pui Yin, Nia Dinata / MediaCorp Raintree Pictures & Kalyana Shira Films)
Merantau (Dir. Gareth Evans. Prod. Ario Sagantoro / Merantau Films)
Perjaka Terakhir (Dir. Arie Aziz. Prod. Koko Sunarso, Manoj Kumar Samtani / PT Kanta Indah Film)
Preman in Love (Dir. Rako Prijanto. Prod. Dhamoo Punjabi, Manoj Punjabi / MD Picture)
Punk in Love (Dir. Ody C. Harahap. Prod. Raam Punjabi / MVP Picture)
Queen Bee (Dir. Fajar Nugros. Prod. Bernhard Subiakto, Salman Aristo, Rendy Prasetio / Million Pictures)
Ruma Maida (Dir. Teddy Soeriaatmadja. Prod. P. Setiono, Teddy Soeriaatmadja / Lamp Pictures & Karuna Pictures)
Sang Pemimpi (Dir. Riri Riza. Prod. Mira Lesmana / Miles Films)
Serigala Terakhir (Dir. Upi Avianto. Prod. Adiyanto Sumarjono / Investasi Film Indonesia)
The Police (Dir. A Leung Wong. Prod. Ki Kusumo / Putra Kusuma Pictures)
The Tarix Jabrix 2 (Dir. Iqbal Rais. Prod. Chand Parwez Servia / Starvision Plus)
(MG/050510)