Jengkerik Berbisik
Jengkerik (atau: jangrik) bisa menjadi representasi sepi. Binatang nokturnal ini “menyanyi” untuk mengatasi keadaan sekitar, dan ini berpengaruh pada tingkah laku mereka. Nyanyian timbul karena terjadi gesekan antarbagian tubuh mereka. Jengkerik jantan yang biasanya melakukan hal ini dengan sayapnya. Sementara pada betina, meski jarang melakukan aktivitas serupa, suara yang mereka hasilkan lebih luwes dan hangat.
Jengkerik identik dengan tokoh Jaya (Iqbal S. Manurung), anak berumur 12 tahun yang berusaha menemui ayahnya di tempat yang sekaligus menjadi judul film ini, Jermal. Anak ini jarang melakukan aktivitas oral dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca dan merawat peliharaannya, karibnya, paralelisnya -meski berbeda spesies- yakni jengkerik.
Johar (Didi Petet) adalah pribadi yang keras, otoriter, mempunyai masa lalu yang kelam. Ia tidak mau disentuh. Johar yang semula tidak menghendaki keberadaan Jaya, berusaha membawa sang anak dari tempat yang keras dan teguh itu. Johar pun masih dekat dengan sifat-sifat jengkerik yang tertutup dan tidak suka dengan keterbukaan.
Kisah pertemuan orang tua dan anak ini mengingatkan kita pada Pasir Berbisik (2001) yang juga ditangani oleh orang yang sama, Rayya Makarim. Jika dalam Pasir... Rayya menulis skenario dan Nan T. Achnas duduk di kursi sutradara, kali ini Rayya mengambil tempat tersebut. Nan T. Achnas tidak lagi terlibat. Pada Pasir... hubungan ibu dan anak perempuan lah yang diangkat. Pada Jermal, hubungan ayah dan anak laki-laki mengemuka. Pada Pasir... tokoh Daya (Dian Sastrowardoyo) bertemu dengan Agus (Slamet Rahardjo). Sedangkan dalam Jermal, figur mereka diwakili oleh Jaya dan Johar.
Jengkerik identik dengan tokoh Jaya (Iqbal S. Manurung), anak berumur 12 tahun yang berusaha menemui ayahnya di tempat yang sekaligus menjadi judul film ini, Jermal. Anak ini jarang melakukan aktivitas oral dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca dan merawat peliharaannya, karibnya, paralelisnya -meski berbeda spesies- yakni jengkerik.
Johar (Didi Petet) adalah pribadi yang keras, otoriter, mempunyai masa lalu yang kelam. Ia tidak mau disentuh. Johar yang semula tidak menghendaki keberadaan Jaya, berusaha membawa sang anak dari tempat yang keras dan teguh itu. Johar pun masih dekat dengan sifat-sifat jengkerik yang tertutup dan tidak suka dengan keterbukaan.
Kisah pertemuan orang tua dan anak ini mengingatkan kita pada Pasir Berbisik (2001) yang juga ditangani oleh orang yang sama, Rayya Makarim. Jika dalam Pasir... Rayya menulis skenario dan Nan T. Achnas duduk di kursi sutradara, kali ini Rayya mengambil tempat tersebut. Nan T. Achnas tidak lagi terlibat. Pada Pasir... hubungan ibu dan anak perempuan lah yang diangkat. Pada Jermal, hubungan ayah dan anak laki-laki mengemuka. Pada Pasir... tokoh Daya (Dian Sastrowardoyo) bertemu dengan Agus (Slamet Rahardjo). Sedangkan dalam Jermal, figur mereka diwakili oleh Jaya dan Johar.
Gesekan yang terjadi antara Jaya dan Johar melibatkan pola hubungan antara orang tua dan anak, antarlaki-laki, juga antara laki-laki dan perempuan. Disini, kaum perempuan hanya diwakili oleh tokoh Ibu Jaya sekaligus istri Johar (tak disebutkan namanya). Jengkerik pejantan yang lebih nyaring bersuara ditemukan pada diri ayah-anak yang memiliki keserupaan sifat dan sikap. Ambillah contoh, satu adegan dimana Jaya turut mengamuk barang, sama seperti ayahnya, ketika ia ingin meluapkan emosinya. Tindakannya ini adalah bentuk riil dari penanganan keadaan secara insting. Sementara jengkerik betina yang bersuara lebih lembut disematkan dalam penggalan narasi ibunya, tenang namun menggugah.
Gambar dalam Jermal juga nyaris sama dengan gambar Pasir... Shot-shot utama dibentangkan terutama pada lokasi di alam terbuka, dan ikon tokoh utama. Setiap tokoh mempunyai penanda yang menjadikan diri mereka khas. Jaya mempunyai kardus yang berisi aneka propertinya, sementara Johar mempunyai semacam kotak (wasiat?) berisi surat-surat dari mendiang istrinya. Oh ya, jangan lupakan pion catur mini untuk menyumbat kupingnya sewaktu tidur. “Perkakas” ini melibatkan emosi dan perilaku mereka di tempat Johar mengais rejeki. Di atas jermal.
Iqbal S. Manurung adalah pendatang baru yang berasal dari kalangan non-profesional. Ia bocah dari Sumatera Utara, tempat asli cerita film ini berasal. Pemahamannya akan karakter Jaya yang semula kagok, tak berdosa, hingga berubah menjadi tangguh dan beringas -seperti ayahnya, Johar- bisa dikatakan tak lazim untuk seorang debutan.
Jika menyimak Didi Petet dalam beberapa film terakhirnya, tidak ada pranala yang menghubungkan penonton dengan kemahirannya berseni peran. Akan tetapi di Jermal ia tampil "garang". Inilah peran yang akhirnya melegitimasi definisi keaktoran Didi Petet setelah era Emon di Catatan Si Boy (1987) dan Kabayan dalam Si Kabayan Saba Kota (1989). Ia aktor serba bisa? Maka lengkap julukan tersebut setelah film ini.
Jengkerik bisa saja menjadi representasi Anda, saya atau siapa saja yang merasa hidup terkucil dan sendiri. Kesendirian bukan tekanan dan ketidakberdayaan. Ketika dalam kesendirian, ambillah falsafah hidup jengkerik. Yakni menyanyi. Bernyanyilah dengan setiap indera yang kita miliki, karena dengan begitu hidup akan terasa lebih baik.
Omong-omong, tahukah Anda mengenai jermal? Jermal adalah sebuah bangunan kayu -mirip rumah perahu- yang terletak sekitar 8 kilometer lepas pantai Sumatera Utara. Komunitas masyarakat yang hidup di jermal mengandalkan ikan dan sumber daya laut sebagai tambang uangnya. Tempat ini lebih dikenal karena pekerja buruh anaknya. Pemerintah Daerah Sumatera Utara pada tahun 2004 sudah mencanangkan target penghapusan buruh anak di jermal. Jika Anda masih tertarik dengan isu nasional dan peduli terhadap lingkungan, Jermal bisa menjadi tontonan yang tepat.
Gambar dalam Jermal juga nyaris sama dengan gambar Pasir... Shot-shot utama dibentangkan terutama pada lokasi di alam terbuka, dan ikon tokoh utama. Setiap tokoh mempunyai penanda yang menjadikan diri mereka khas. Jaya mempunyai kardus yang berisi aneka propertinya, sementara Johar mempunyai semacam kotak (wasiat?) berisi surat-surat dari mendiang istrinya. Oh ya, jangan lupakan pion catur mini untuk menyumbat kupingnya sewaktu tidur. “Perkakas” ini melibatkan emosi dan perilaku mereka di tempat Johar mengais rejeki. Di atas jermal.
Iqbal S. Manurung adalah pendatang baru yang berasal dari kalangan non-profesional. Ia bocah dari Sumatera Utara, tempat asli cerita film ini berasal. Pemahamannya akan karakter Jaya yang semula kagok, tak berdosa, hingga berubah menjadi tangguh dan beringas -seperti ayahnya, Johar- bisa dikatakan tak lazim untuk seorang debutan.
Jika menyimak Didi Petet dalam beberapa film terakhirnya, tidak ada pranala yang menghubungkan penonton dengan kemahirannya berseni peran. Akan tetapi di Jermal ia tampil "garang". Inilah peran yang akhirnya melegitimasi definisi keaktoran Didi Petet setelah era Emon di Catatan Si Boy (1987) dan Kabayan dalam Si Kabayan Saba Kota (1989). Ia aktor serba bisa? Maka lengkap julukan tersebut setelah film ini.
Jengkerik bisa saja menjadi representasi Anda, saya atau siapa saja yang merasa hidup terkucil dan sendiri. Kesendirian bukan tekanan dan ketidakberdayaan. Ketika dalam kesendirian, ambillah falsafah hidup jengkerik. Yakni menyanyi. Bernyanyilah dengan setiap indera yang kita miliki, karena dengan begitu hidup akan terasa lebih baik.
Omong-omong, tahukah Anda mengenai jermal? Jermal adalah sebuah bangunan kayu -mirip rumah perahu- yang terletak sekitar 8 kilometer lepas pantai Sumatera Utara. Komunitas masyarakat yang hidup di jermal mengandalkan ikan dan sumber daya laut sebagai tambang uangnya. Tempat ini lebih dikenal karena pekerja buruh anaknya. Pemerintah Daerah Sumatera Utara pada tahun 2004 sudah mencanangkan target penghapusan buruh anak di jermal. Jika Anda masih tertarik dengan isu nasional dan peduli terhadap lingkungan, Jermal bisa menjadi tontonan yang tepat.
3,5/5
(KP/200410)
2 comments:
gonna watch this film soon
barusan liat dvdnya. bagus sih tapi yang rada aneh endingnya. berasa nggak ada penyelesaaian lain aja... klise amat
Post a Comment