Movie Review: Love Story

Photo Credit: Starvision Plus

Kalau Anda masih ingat, dalam sebuah scene dari Love is Cinta (LiC, 2007), terpampang sebuah baliho film bertuliskan “Love Story”. Mungkin Anda waktu itu cuma berpikir baliho tersebut adalah properti biasa. Mungkin juga ada diantara Anda yang menerka itu sebagai snippet dari proyek berikutnya. Kalau begitu, maka benar. Empat tahun berselang, baliho itu kini kembali dipajang. Meski tanpa embel-embel brand rokok dan kartu seluler.

Chand Parwez dan Hanny R. Saputra, penemu duet Acha Septriasa-Irwansyah, masih setia menggunakan formula cerita roman untuk memuaskan 'dahaga' penonton remaja yang menjadi sasaran produk mereka. Tak berlebihan sebenarnya. Karena setelah Heart (2006) memang sepasang artis remaja generasi baru telah lahir. Setelah Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra tidak lagi bisa disebut remaja, siapa lagi memangnya?

Namun Chand dan Hanny sepertinya lupa bahwa sukses satu formula tak bisa diterapkan dalam setiap karya mereka. Apakah mereka masih kurang mencermati kenapa LiC bisa gagal meraup penonton? Tak sebanding dengan outcome Chand kala itu. Bahkan seperti pengakuannya sendiri, “...rugi babak belur,” dalam majalah Swa, tahun 2009 silam. Ekspektasi Chand yang terlampau tinggi pada dua bintang lejitannya ini tak diimbangi dengan penyegaran ide dan kualitas cerita.

Love Story (LS) bisa saja mengembalikan kepercayaan publik pada Starvision -PH milik Chand- andai sang produser mau mengadakan survey dan riset pasar. Kenapa begitu? Karena PH tak hanya harus tahu target produknya, tetapi juga musti mengetahui 'apa maunya' target mereka, apa yang dikehendaki penonton. Sangat salah jika menganggap penonton akan menerima apa saja yang disuguhkan selama bintangnya sama. Penggemar Acha dan Irwansyah tentunya sudah bertambah usia, mereka tidak mau disodori cerita cheesy dan dialog puitis (dan hiperbolis) lagi.

Ya, meskipun konflik yang coba ditawarkan kali ini lebih serius, yakni mendirikan sebuah sekolah. Tetapi sangat tidak rasional untuk seorang yang baru lulus kuliah tiba-tiba mendirikannya, beserta sebuah kincir air raksasa. Dalam 3 hari lagi. Lalu bagaimana dengan perkembangan karakter? Tidak ada. Karena konflik berjalan di tempat. Padahal, conflict is the heart of drama.

Peluang untuk menuju plot yang bagus sebenarnya dimulai sejak adegan pembuka. Tepatnya ketika tokoh Galih (Irwansyah) dan Ranti (Acha Septriasa) masih ber-Sekolah Dasar. Disini, mulai timbul ketertarikan pada kedua karakter utama ini. Apalagi ketika Galih mengintip Ranti yang menceritakan keinginannya menjadi guru ketika ia besar nanti. Sayangnya, adegan yang seharusnya dilanjutkan dengan pendalaman, langsung dipangkas dengan adegan 'potong rambut' yang merusak mood.

Photo Credit: Starvision Plus

Setelahnya, Armantono (penulis skenario) membingungkan penonton dengan mana yang akan dijadikan plot, cinta atau sekolah. Meski secara materi, dari pertama layar dibuka sampai ditutup, ide mendirikan sekolah yang menjadi plot. Baru kisah cinta menjadi subplot-nya, bersama dengan mitos 'desa terpisah sungai'. Dalam penggambarannya, percintaan diberi porsi lebih, dan tentu saja mengurangi 'jatah' sekolah yang sungguh aneh, cuma ditampilkan dalam rangkaian imej repetitif: mengangkat batang-batang kayu.

Sudah begitu, karakter pendukung utama seperti Ayah (Reza Pahlevi) dan Nenek (Henidar Amroe) tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan kenapa ada mitos. Mereka hanya menjadi penyampai pesan yang baik. Tak lebih.

Ide cerita LS sebenarnya menarik. Jika diwujudkan dalam film bersetting klasik murni, akan jauh lebih baik. Mungkin, hanya asumsi saya, Chand tidak mau kehilangan modal untuk yang kedua kalinya. Maka ia  memilihkan kostum modern untuk Galih dan Ranti yang sangat kontras dengan latar cerita dimana mereka tinggal, desa terpencil tanpa akses listrik. Karena untuk sebuah film klasik ia paling tidak harus memiliki anggaran dua kali lebih besar dari yang sekarang. Atau mungkin juga ia ingin menggaet penonton di kota besar dengan kostum itu. Sang Pencerah (2010) tak dijauhi penonton kota walau wardrobe-nya sangat kuno, sebagai perbandingan saja.

Apalagi yang bisa saya katakan tentang Acha Septriasa. Satu poin saja, pembentukan suaranya sudah lebih matang. Dalam climax scene, ia menyumbangkan salah satu dari Best Scenes in Indonesian Cinema. Ia lah reinkarnasi Jenny Rachman. Andai Kabut Sutra Ungu (1979) dibuatkan remake, ia bisa jadi pilihan yang tepat. Kalau Anda masih menganggap ia tidak cakap berakting, maka Anda seorang ignorant. Saran dari saya langsung buat Anda, ambillah acting course. Setelah kurang lebih tiga bulan, kembalilah kepada saya, dan katakan argumen Anda.

Sebuah kejutan, Irwansyah bisa juga bermain dalam range dengan kedalaman tingkat tinggi. Jika diberi kesempatan lebih, rupanya ia bisa unjuk gigi. Reza Pahlevi biasa saja. Tidak miscast, tidak juga menonjol. Pemain lain seperti Henidar Amroe, Reza Rahardian, dan Maudy Koesnadi juga tidak mengejutkan. Pas saja. Saya heran kenapa banyak orang menyebut nama Reza dengan istimewa meski disini ia hanya cameo yang terhalang skrip. Give credit where it's due.

LS memang berhasil mengeksplor kemampuan akting dari para pemain utamanya, tetapi ternoda oleh frustrating plot. Jadi untuk Chand dan Hanny, berhati-hatilah jika ingin mengulang kesuksesan dengan formula yang sama. People will pay more to be entertained than educated.


2/5


(MG/280111)

4 comments:

Anonymous said...

sudah gue duga deh endingnya kaya begini hikss coba dong kasih irwan ma acha itu cerita selaen drama hohooo

Anonymous said...

sudah gue duga deh endingnya kaya begini hikss coba dong kasih irwan ma acha itu cerita selaen drama hohooo

Anonymous said...

eh btw reza rahadian peranya apa sih? aku lum liat filmna

Anonymous said...

^Kalau gue nggak lupa nama peran reza itu PENGKOR. dia nggak ada dialog kok. forgettable role by reza. ACHA aktingnya bedeeeeuuuhhh gue sukaaaa banget!!!!