Movie Review: Darah Garuda


Merah Putih (2009) meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Tidak seperti pada kebanyakan orang sini yang mengulas film debut Yadi Sugandi sebagai sutradara, kecewa.  Memang menurut siapa, harus giat mengedarkan bubuk mesiu dan banyak mengumbar baku tembak untuk melabeli sebuah film dengan kata ‘perang’?

Padahal genre ini cakupan plotnya sangat luas. Pertama, ya bisa itu tadi, baku tembak antara dua kubu. Lalu bisa juga konflik antarpersonal, antarkelompok, antarsuku, hingga antarnegara. Bahkan diskusi mengenai strategi penyerangan diatas meja bundar pun sudah bisa dikelompokkan kedalam war movies. Kecewa karena tidak seperti Saving Private Ryan (1998)?

Jangan berani membandingkan sebuah film dengan mahakarya Steven Spielberg itu. Tidak usah jauh-jauh ke Hollywood, sudah menonton Lewat Djam Malam (1955) dan Doea Tanda Mata (1985) belum? Dua film itu dan juga -yang belum saya tonton- Darah dan Doa (1950) disebut sebagai beberapa dari sedikit film perang Indonesia terbaik yang pernah ada, menurut beberapa kritikus ternama lokal maupun asing. Meski tanpa mengobral peluru dan bom sepanjang film.

Benang merahnya terletak pada peristiwa perang itu. Jika subplot-nya kemudian menyebar kemana-mana menjadi hak prerogatif investor, produser, distributor, penulis skenario dan sutradara. Prioritas untuk menampilkan seberapa banyak porsi aksi berada ditangan mereka. Merah Putih memang belum bisa memuaskan penggemar film aksi/laga kelas berat, mengingat banyak tokoh dikenalkan dan komunikasi yang terbangun diantara mereka mendominasi durasi.

Kemudian, bagaimana dengan sekuelnya?


Berkaitan dengan plot dan subplot, Darah Garuda (DG) masih konsisten. Tidak ada penyelewengan seperti kebanyakan film nasional. Conor Allyn dan Rob Allyn mengaturnya dengan bijak. Setelah eksposisi yang cukup di Merah Putih, mereka mencoba mendalami karakter-karakter lain yang belum tergali seperti Dayan, Vaan Gaartner, Lastri, Yanto, Budi, dan Kyai. Usaha mereka membuahkan hasil yang baik untuk  dua nama pertama. Kuartet berikutnya sayangnya, tidak.

Tokoh Lastri, Yanto, Budi, dan Kyai bisa dibilang prematur untuk berada di dalam plot utama. Mereka tiba-tiba masuk tanpa pengenalan tentang apa yang mereka lakukan sebelumnya. Sebagai contoh, dari mana Lastri berasal dan dimana ia bertemu dengan rombongan Amir? Atau bagaimana hubungan Yanto dan Budi sebelum akhirnya Yanto tertangkap basah berkhianat? Juga Kyai yang tampil sekelebat. Padahal keempatnya memicu konflik penting dalam cerita. Inilah yang menyebabkan DG tidak bisa menyamai eksposisi Merah Putih, kendati seperti yang saya bilang diatas tadi, plot dan sub-subnya masih padu.

Bersyukur konflik dan klimaksnya mengalir lancar. Sejujurnya, konflik baru menarik setelah Van Gaartner menawan Dayan. Bagian klimaks DG juga sangat sayang untuk dilewatkan. Satu lagi non-antiklimaks setelah Rumah Dara, MPdVP, dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini).


Tata artistik oleh Iri Supit seharusnya bisa lebih baik dari ini. Selain untuk markas Belanda, belum ada tataan lokasi yang dimaksimalkan secara visual untuk mengimbangi waktu kejadian peristiwa. Juga untuk tata wardrobe. Kembali ke 1947, rasanya pakaian penduduk pribumi kelas bawah (lihat sekuen di Pasar) dan seragam serdadu Belanda tidak semencolok itu. Berbeda dengan tata rias wajah, prostetik, dan special effects yang sangat meyakinkan (lihat Tomas di climax scene).

Seperti juga film perang lain, hand-held camera cukup banyak diterapkan. Cukup efektif untuk mengajak penonton merasa terbawa kedalam rasa takut. Kali lain ketika kamera bergerak melebar, kita seperti sedang melihat camp dari jendela rumah. Untuk ini perlu diberikan kredit kepada Padri Nadeak.

Selain efek khusus tadi, tata suara, musik dan sunting yang masing-masing dipegang oleh Boom Suvagondha, Thoersi Argeswara, serta Sastha Sunu adalah kekuatan utama film berdurasi sekitar 100 menit dan berbiaya sekitar Rp 50 Milyar ini. Worth it!

Jika Merah Putih telah menempatkan Donny Alamsyah (Tomas) ke posisi atas aktor terbaik Indonesia, tidak diragukan lagi. Kali ini DG membuat Teuku Rifnu Wikana (Dayan) mengikuti jejak ‘petani Manado’. Tidak sia-sia debutnya sebagai extras dalam Mengejar Matahari (2004). Satu lagi bakat besar hasil temuan Rudi Soedjarwo.

Saya tidak bisa mengatakan Rudy Wowor (Van Gaartner) orang pertama atau kedua yang mencuri perhatian disini. Yang pasti, ia dan Teuku paling menonjol.  Dalam scene terakhir, getaran emosinya begitu kuat dan menjadi paradoks atas karakternya yang arogan.

Rahayu Saraswati (Senja) dan Atiqah Hasiholan (Lastri) memberikan contoh kepada aktor dan aktris lain bahwa dengan method acting tidak berarti kaku dan belum tentu lebih buruk dari natural acting. Disini mereka berdua tampil sekelas dengan Ayu Laksmi dalam Under the Tree (2008).

Kali ini, Lukman Sardi (Amir) dan Darius Sinathrya (Marius) lebih rileks bermain ketimbang sebelumnya. Astri Nurdin (Melati) dan Ario Bayu (Yanto) tampil bagus. Kyai (Alex Komang) dan Budi (Aldy Zulfikar) terhalang skenario.

Saya rekomendasikan sekuelnya bagi Anda yang kecewa dengan Merah Putih.

Keyword: The Big Parade (1925), Schindler's List (1993), Saving Private Ryan (1998), The Thin Red Line (1998)



4/5



(KP/270910)

3 comments:

Anonymous said...

hmmm iya juga sich tergantung investor sebab mereka penyandang dana :) aalways enjoy your review MG
terlep[as dari kurangnya hasil art director & soal ekposisi itu Darah Garuda tetap menjadi kandidat kuat film terbaik tahun ini
setuju? Manisa... PKL

Anonymous said...

lebih bagus ini dari merah putih. tereima kasih ya sudah membuat review darah garuda. salahsatu film indnesia terbaik yang pernah saya tonton

Anonymous said...

best indonesia movie menurutku