Final Analysis: Acha Septriasa


I sit here patiently, I'm waiting for another pose

Looking straight at the camera, but she doesn't know what it's for
But she smiles anyway
She starts to lose her trust and her wandering eyes look straight ahead
She's staring back into mine but she hasn't noticed yet
She looks in the corner, she stops
She sees a man in back slowly approaching, but she's not scared
It's one more, she's lost so many now
She's losing track, she's lost track again this time is for good
The future is in this line and I'm sorry if you've forgotten
I guess it's gonna be another night all alone
Practice your line again and again
"Is there anything I can do for you now?"
The director is angry again, he sits in his chair
I look at him, he's staring back at me
He sees the point but he's not pleased
Kid, you're not here to love, you're here to act
Don't be concerned, you're just here
Talk and be ready, you better memorize that line

(She's An Actress? oleh Park Ave.)



A
cha Septriasa
. Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama ini? Entahlah. Masing-masing dari kita mempunyai deskripsi yang berbeda tentangnya. Tetapi satu yang tidak bisa ditampik, fakta bahwa tidak seorang selebritas nasional pun yang mengalami penolakan berulang kali sepertinya. Tidak hanya dari industri, tetapi publik pun acap – bahkan, hampir selalu- 'meradang' setiap kali gadis kelahiran Jakarta, 1 September 1989 ini muncul dengan karyanya. Belum lagi sikap media yang selalu mengabaikan, kecuali untuk bombardir isu yang pernah 'memaksa' Acha beberapa kali meneteskan air mata di depan kamera. Delapan judul film telah dirampunginya. Masih saja, terdengar gumaman disana-sini, “Acha aktris?” Mampukah Acha melewati mimpi buruknya?



From Mentor to Dream Director


Credit: Soraya Intercine Films

Ia pertama kali muncul dalam sebuah film blockbuster karya Sunil Soraya, Apa Artinya Cinta? (Soraya Intercine, 2005). Berperan sebagai Mitha, perempuan belia yang diceritakan mempunyai kekasih bermasalah, Angga, diperankan oleh Dimas Beck. Dalam sebuah scene dimana Mitha harus menceritakan kisah pilu Angga pada Aliza (Shandy Aulia), ia tak tampak seperti aktris remaja kebanyakan. Bahwa ini film debutnya memang, dan benar ia hanya menjadi pemeran pendukung. Tetapi figur Mitha hadir sebagai bagian cerita penting, seperti juga dalam Ada Apa dengan Cinta? (2002) dimana ada tokoh Alya (Ladya Cheryl). Peran pertamanya ini memang tidak terkenang oleh kebanyakan orang.

Tiba-tiba tanpa publikasi yang besar muncul Heart (Starvision Plus, 2006). Dalam film pop komersial ini ia disandingkan dengan Nirina Zubir, aktris yang sudah punya nama sejak Mirror (2005). Hanny R. Saputra mengambil peran sebagai sutradara. Hanny yang pernah mengantongi penghargaan Golden Award di Cairo International Film Festival for Children lewat Nyanyian Burung (2000) ini pada kemudian hari menjadi mentor bagi Acha.

Credit: Starvision Plus

Tetapi berhasilkah Acha lewat film keduanya? Tidak. Kecuali untuk download Ring Back Tone (RBT) lagu-lagu soundtrack film itu. Lihat saja betapa banyak kritikan yang ia tuai dari Heart. “Ia menangis seperti tertawa, atau sebaliknya?,” kata satu orang. Yang lain menimpali, “Ia terlalu overacting,” atau “Kenapa Acha?.” Bahkan seorang Raditya Dika merasa perlu mengomentari akting Acha dalam bukunya, Radikus Makankakus. Raditya menulis akting menangis Acha seperti orang yang sedang 'beranak.'

Jika harus jujur, karakter yang Acha perankan disini tidaklah gampang. Sangat kompleks. Luna, tokoh yang ia mainkan, adalah sosok perempuan muda yang mengidap penyakit Sirosis. Dalam kesehariannya Luna harus berusaha bersikap wajar, tetapi kepribadiannya yang sensitif menjadi kendala. Ia begitu mudah tersentuh, namun ia berusaha tidak menampakkannya di depan umum. Kegelisahan itu tampak dalam rautnya yang ambigu, jika ia menangis sembari tertawa -dalam situasi tertentu- bukankah itu wajar?

Kita melihat model akting seperti ini sejak puluhan tahun silam dan tidak pernah dipermasalahkan. Joan Bennett telah melakukannya di Scarlet Street (1945) pada dialog, "Oh you idiot... How could a man be so dumb?" dan lihat...! Semuanya baik-baik saja. Lagipula, sebetulnya akting menangis dan tertawa bukan tren. Keduanya, menangis dan tertawa, memang berlawanan secara fisiologis juga psikologis, namun berkaitan secara biologis. Tergantung pada ekspresi yang sedang ditampilkan, karena tokoh atau peran tersebut dimainkan makhluk hidup bernama manusia! Hal ini pun telah termaktub dalam jurnal penelitian akting. Maka?

Tidak mungkin menyebut popularitas Heart sebagai awal kesuksesan Acha. Ia sama sekali belum sukses. Lebih banyak orang yang mencemooh ketimbang menyambutnya. Ini film keduanya dan ia harus berhadapan dengan seorang Nirina Zubir, for God's sake! Ironisnya, ia dan juga lawan mainnya, Irwansyah (kekasihnya saat itu) mendulang kekaguman publik Malaysia dan Singapura. Tak peduli, Hanny mengusung sekali lagi duet Acha-Irwansyah dalam Love is Cinta (2007).

Credit: Starvision Plus

Disebut sebagai pasangan remaja yang identik dengan kisah roman, Acha dan Irwansyah tidak gentar. Meski kali ini porsi Irwan berkurang. Masuklah Raffi Ahmad memerankan Donny, mengadu kemampuannya dengan Acha yang berperan sebagai Cinta. Dalam drama thriller ini lagi-lagi Acha tak berhasil membuat orang menoleh. Termasuk ulasan dari The Jakarta Post yang menulis, “Acha's whole definition of acting is pulling different kinds of crying faces (and her famous 'is she crying or laughing?' look). She, along with Raffi, overacts and wipes their potentially earnest performances off the screen.” Meski begitu, ia berhasil menjadi nominator Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2007.

Sebegitu burukkah Love is Cinta? Mungkin, jika ditilik dari segi narasinya yang menjual dialog hiperbolis, repetisi dari Heart. Tetapi tidak dari akting dan penokohan. Cinta adalah pribadi yang sulit dipahami. Ia introvert, namun melankolis dan dewasa. Ia jauh lebih matang dari Ryan (Irwansyah) dan Donny. Sensitivitasnya melebihi Luna. Sekilas mirip dengan karakter Sidney Prescott yang diperankan Neve Campbell dalam Scream (1996). Lewat film ini Acha mempertegas kadar kepekaannya terhadap film bergenre intense drama.

Credit: 13 Entertainment/ Lovely Today

Tidak lama setelah itu ia kembali ke layar lebar dengan produksi 13 Entertainment, berjudul LoVe. Bentuk adaptasi dari film Malaysia, Cinta (Alternate Studio, 2006) ini ditangani oleh sutradara yang sama, Kabir Bhatia. Tidak seperti film-film terdahulunya, lewat perannya sebagai Iin, ia mulai memperoleh pengakuan dari beberapa tempat. Komunitas blogger dan forumer yang selama ini sadis mencercanya mulai membuka pintu. Salah satu anggota tim MG, Aldi Wirya, memuji akting Acha dalam blog pribadinya, “Secara akting semua pemain dapet karakternya, bahkan gue suka akting Acha Septriasa padahal di Heart sama Love is Cinta gue rada ilfil ngeliatnya. Mungkin ini akting terbaik Acha sejauh ini.” Tidak ketinggalan blogger film Haris menambahkan, “...walaupun harus diakui Acha Septriasa is such a scene-stealer. Progresi aktingnya sedemikian berkembang dan melepas akting ala film remaja yang telah menjadi tipikalnya.

Acha menang telak dalam LoVe. Meskipun disana ada nama-nama besar seperti: Alm. Sophan Sophiaan, Widyawati, Fauzi Baadilla, Surya Saputra, Wulan Guritno, Darius Sinathrya, Luna Maya, Laudya Chintya Bella dan Irwansyah. Dan The Jakarta Post seperti menganulir pernyataan mereka sebelumnya dengan merespon akting Acha begini, “But the standout performance of the film has to be Acha Septriasa's -- from the Sundanese accent to the subtle gesticulations. Her country bumpkin could've been played crasser for more laughs or weepier for more sympathy, but her performance is so fluid and organic, it's hard to believe this is the same grating actress who shamelessly turned on the waterworks in Love is Cinta.” Dus, dari tulisan pers Jakarta inilah untuk pertama kalinya Acha diapresiasi media.

Beberapa pihak mengatakan ia naik kelas. Pengakuan tersebut ia dapat setelah bermain dalam film yang secara naratif lebih baik. Tetapi sebenarnya ia tidak kemana-mana. Bakat itu sudah lama ada disana. Ya, ia hanya membutuhkan waktu dan orang yang tepat untuk bisa 'mengupas'-nya.

Dan cerita berikutnya... Rudi Soedjarwo. Sutradara yang terkenal akan kemahirannya menyarikan kemampuan aktor-aktornya hingga ke titik tertinggi menuntun langkah Acha. Drama roman bertajuk In the Name of Love (Valiant Circle Productions, 2008) menjadi persinggahan Acha berikutnya. Ia berperan sebagai Saskia, perempuan dalam masa transisi dari remaja ke dewasa. Tingkahnya kadang kompulsif, cenderung semau gue. Tetapi setelah bertemu Abimanyu (Vino G. Bastian), ia mulai menghapus keremajaannya. Saskia mendadak tumbuh matang dan bisa 'mengetuk' hati ayahnya, Triawan Negara (Roy Marten) dengan satu 'tamparan' keras lewat dialog, “Hidup adalah sahabat manusia kan, Pa? Tapi tidak di rumah kita.

Credit: Valiant Circle

Lagi, sebagian media 'mengulurkan tangan' dengan terbuka. Seperti ditulis oleh Harian Waspada, “…berikut perjalanan akting seorang Acha Septriasa yang kelihatan berkembang begitu pesat semenjak Love tempo hari. Stamp of approval itu juga didapat dari Harian Sinar Harapan, “Aktris muda, Acha Septriasa (sebagai Saskia Putri Negara) mampu mewakili generasinya di hadapan kekuatan lama, Christine, Roy dan Cok. Kemungkinan besar, melalui film ini, Acha akan menjadi pesaing utama peraih penghargaan tertinggi di ajang Festival Film Jakarta ataupun Festival Film Indonesia tahun 2008.

Sayang dua penampilan terbaiknya di tahun 2008 itu membuyarkan khayalan Acha yang mungkin mengharap akan ada apresiasi nyata dari kerja kerasnya dalam dua performance-oriented films itu. Panitia FFI 2008 tidak meloloskan LoVe ke dalam hasil seleksi karena alasan sutradaranya orang asing. In the Name... pun setali tiga uang. Masuk kotak.

Kepopuleran Acha pasca FFI 2007 sebenarnya sudah bisa diendus. Nama Hanny R. Saputra dan Rudi Soedjarwo, bagaimana pun, sudah tercatat dalam Curriculum Vitae-nya. Barangkali ini yang menyebabkan beberapa produser mengincar bintang ini untuk turut berpartisipasi dalam proyek mereka. Produser Sharad Sharan memboyong Acha untuk tampil sebagai Guest Appearance dalam Crazy Krazy Krezy (999 Pictures, 2009). Dalam film arahan Rako Prijanto yang telah lebih dahulu membesut Ungu Violet (2005) dan Merah Itu Cinta (2007), Acha tidak banyak muncul.

Credit: 999 Pictures

Ia hanya membuktikan bahwa ia sudah cukup punya nama sehingga ia layak diajak 'mejeng' bersama bintang-bintang senior seperti: Tora Sudiro, Vincent Rompies, Sigi Wimala dan Sissy Priscillia. Kebetulan film ini merupakan kerja sama Indonesia dan Malaysia, yang mana Acha sangat populer di negara yang disebut terakhir. Proses terpilihnya Acha dalam Crazy… pun cukup unik. Seperti dicatat oleh tim produksi film, bahwa Acha sebenarnya bukan pilihan utama untuk peran Suzanne, primadona pujaan Tino (Vincent Rompies). Luna Maya lah pengisi peran itu pada awalnya, tetapi batal karena terbentur masalah jadwal. Acha terpilih pada detik-detik terakhir.

Tahun ini menjadi tahun kembalinya Acha. Karena ia lagi-lagi bermain dalam film utuh dan mendapatkan sebuah peran utama. Sssstt...Jadikan Aku Simpanan (Virgo Putra Film, 2010) mempertemukan kembali Acha dengan mentornya, Hanny R. Saputra. Kali ini bukan lagi dalam film melodrama, tetapi lebih mengarah ke drama komedi. Ia dikasting menjadi Pamela, perempuan yang baru akan menginjak bangku kuliah tetapi gagal lantaran ia senang menghamburkan uang untuk belanja. Disini, Acha mengelaborasi comic timing-nya yang sebenarnya sudah terlihat sejenak di film debutnya.

Credit: Virgo Putra Film

Kebengalan, kekonyolan, kecentilan, kenaifan dan ambisi Pamela melebur dalam diri Acha. Mungkin berat bagi kaum ignorant untuk mengakui hal ini. Tetapi sudahlah, sedari awal mereka memang tidak antusias dengan whatever she does. MG tetap merasa perlu memberikan sebuah nilai pada kinerjanya ini dengan sebuah ulasan, “Termasuk disini pun -dalam film ecek-ecek-- ia memberi kejutan seperti yang selalu menjadi ciri khasnya.” Dalam film yang minim promosi ini -mungkin tidak banyak yang tahu malah- Acha jarang mendapatkan atensi.

Film kedelapan atau film terbarunya, Menebus Impian (Dapur Film, 2010) baru saja diturunkan dari layar putih. Disitu Acha berperan sebagai Nur Kemala Jati, perempuan tangguh yang berusaha membahagiakan sang ibu, Sekar (Ayu Diah Pasha) dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Termasuk dalam hal penampilannya kali ini, Acha menyediakan energi ekstra untuk 'menebus' impiannya bermain dalam film karya sutradara idolanya, Hanung Bramantyo.

Credit: Dapur Film/ Lovely Today

Ulasan yang Acha dapat setelah Menebus Impian tayang bervariasi. Beberapa media nasional sudah mulai tidak ragu memberikan review positif. “Acha pun mampu menjawabnya dengan bermain apik dalam film ini,” tulis Harian Seputar Indonesia. Portal CBN menambahkan, “Cukup menarik mengetahui prosesnya mendapatkan peran Nur karena ternyata menjadikan Acha sebagai Nur adalah keputusan yang sangat tepat. Di film ini, skill aktingnya semakin terasah, sekaligus meningkatkan grafik performanya yang rasanya terus naik setelah debut layar lebarnya, Heart.” Demikian pula majalah film dijital Flick, “...mampu berperan menjadi seorang gadis yang rapuh namun perlahan-lahan dapat bertahan dan berjuang mempertahankan impiannya,” dan Harian Bali Post, “Selain skenario yang sangat kuat, seni peran para pemain juga patut diketengahkan. Terutama sekali akting Acha Septriasa yang kian maju setapak dibanding film-film sebelumnya.”

Blogger yang puas dengan akting Acha pun tak sedikit. Diantaranya Achmad Baihaqi yang menyatakan, “Acha Septriasa naik tingkat. Terakhir mencuri perhatian lewat perannya sebagai Iin di film Love, kini Acha membuktikan diri dengan menunjukan akting yang kian matang. Peran Nur dimainkannya dengan apik. Emosi Nur disampaikan dengan baik. Acha terlihat makin bersinar, sesuai dengan nama peran yang ia mainkan di film ini.” Ungkapan kegembiraan juga turut ditulis oleh Kunderemp dalam jurnal Blogspot-nya, “Namun, Acha Septriasa mungkin bisa jadi antitesis dari pernyataan kawanku. Aku berani bersumpah, sepanjang film ini aku berkali-kali ragu apakah benar Acha yang bermain film ini. Acha seakan-akan menjelma menjadi sosok seperti... Nirina Zubir. Acha di sini bukan Acha di film 'Love' apalagi di film 'Love is Cinta' (apalagi film 'Heart'). Jujur, aku berharap aku bisa melihat lagi sosok Acha yang lain di masa mendatang.”

Sayangnya, kali ini MG tak sepaham dengan uraian di atas. Acha mungkin berakting baik, ia sudah berupaya keras, MG bisa melihat itu. Tapi kekuatannya di layar tidak terkoneksi seperti biasa. Rapuhnya skenario dan kurangnya eksplorasi karakter menjadi faktor pencetus ketidakberdayaan Acha. Salah siapa ini? Tidak ada. Setiap keputusan berdampak konsekuensi. Jatuh-bangun, naik-turun adalah hal yang lumrah terjadi dalam bisnis. Hanung Bramantyo dan Titien Wattimena mungkin sudah memberikan totalitas mereka pula. Tetapi bahwa tema film ini bagai menyulut sumbu api, jelas tak terbantah. Apa lacur, semua sudah terjadi.



Leading Lady

Terpaksa MG membuka catatan karier Dian Sastrowardoyo dan Nirina Zubir. Tidak ada perbandingan! Mereka berbeda generasi dan telah memberikan impact yang berbeda pula pada setiap filmmaker dan penonton. Kebetulan mereka bertiga juga 'dibesarkan' oleh sutradara-sutradara yang sama: Rudi, Hanny dan Hanung. Di berbagai forum pun sudah banyak yang mengaitkan Acha dengan Dian atau Nirina. Tidak lagi bisa menutup mata.

Dian Sastrowardoyo mempunyai jalan karier yang diimpikan banyak orang. Tetapi Dian sendiri tidak mudah untuk mencapai posisi yang ia dapat kini. Usai menjadi pemenang GADIS Sampul 1996, ia lebih dikenal kalangan remaja sebagai model. Selanjutnya Dian tampil dalam video klip band Sheila on 7. Disini ia mulai menampakkan kiprahnya ke publik yang lebih luas. Meski telah bermain dalam film indie Bintang Jatuh (2000), dimana Dian pertama kali bekerjasama dengan Rudi Soedjarwo, ia masih belum terlalu populer. Pasir Berbisik (2001) yang menjadi film keduanya pun belum mengangkat pamor Dian.

Tahun 2002 menjadi tahun kebintangan Dian. Idola baru telah lahir. Strategi kariernya begitu sempurna, bayangkan pada tahun yang sama ia diluncurkan dalam Apa Apa dengan Cinta? sekaligus menjadi brand ambassador sabun kecantikan Lux yang baru. Film ini sukses besar, popularitasnya seketika menukik ke langit ketujuh. Tidak ada debut aktris Indonesia yang sefenomenal Dian Sastrowardoyo. Inilah jalan karier yang diimpikan banyak bintang masa kini!

Sementara Nirina, ia adalah mantan VJ MTV Indonesia yang kemudian didapuk memerankan Gwen dalam 30 Hari Mencari Cinta (2004), disutradarai oleh Upi Avianto. Penampilan Nirina -bersama Dinna Olivia- dalam film ini kemudian membuka pintu kesuksesan yang ia raih kelak lewat Heart dan Get Married (2007). Nirina menggantikan kedudukan Dian sebagai aktris No.1 setelah pendahulunya lebih asyik berkutat dengan art cinema.

Acha memasuki industri ketika Dian sedang berada di puncak dan Nirina mulai menyusulnya. Ia masih bukan siapa-siapa sampai film LoVe. Di waktu yang sama, Nirina tengah memasuki masa hibernasi dan lebih berkonsentrasi pada kehidupan pribadinya. Kariernya terbengkalai. Vice versa, Acha 'berkeringat' dengan dua proyek multibintang di tahun 2008.

Diantara mereka, tidak ada yang merasakan caci-maki seperti yang dialami Acha. Benar bahwa mereka bertiga bekerja keras untuk berhasil, tetapi untuk Acha, sepertinya ia harus bekerja dua kali lipat. Dian dan Nirina tidak harus bersusah-payah untuk mendapatkan simpati, baik dari industri maupun publik. Setiap karya mereka, baik atau buruk, hasil ulasan yang muncul tak pernah bernada miring apalagi negatif. Dan hanya jika Acha Septriasa mempunyai nasib yang sama beruntungnya...



Underdog

Inilah mengapa di awal tulisan ini MG mengatakan tidak ada seorang selebritas tanah air pun –laki-laki atau perempuan- yang 'mendaki' jalan seterjal yang dilalui Acha Septriasa. Inul Daratista, pedangdut yang kontroversial dengan Goyang Ngebor, pernah ditolak sebagian komunitas. Tetapi mayoritas industri dan media mendukungnya. Di belakangnya pun masih ada FBI (Fans Berat Inul) yang terdiri atas lapisan masyarakat kelas A hingga C. Delon Thamrin, penyanyi yang mengawali kariernya lewat Indonesian Idol (2004) memiliki kesamaan jalan karier seperti Inul. Kini ketika tidak lagi segar, Inul mulai dijauhi media. Meski ia sempat menjadi ladang emas bagi industri dan media selama dua tahun (2002-2003).

Lain dengan Bella Saphira. Ia menuju puncak kejayaannya bukan karena media. Ia berbekal satu predikat Artis Bersinar Tahun 1999 dalam polling kuis Famili 100 yang dipandu Sonny Tulung. Kala itu Bella muncul dalam sinetron Diantara Dua Pilihan (1999), itu pun hanya sebagai pemeran pembantu, mendampingi Ayu Azhari dan Jeremy Thomas. Anda bisa buka arsip lama, tidak ada media massa yang menulis tentang Bella dengan kolom besar sampai ia bermain dalam sinetron Dewi Fortuna (2000). Kepercayaan rumah produksi Multivision Plus pada Bella dibayar dengan dua piala Panasonic Awards di tahun yang sama. Pada saat ia menerima piala pun, sambutan “booo...” masih diterima Bella. Entah kenapa, awak media tidak begitu ramah padanya. Dan ketika ia bermasalah dengan kontrak sabun Lux, bisa ditebak, tidak ada media yang mendekat. Tetapi fans fanatik Bella hingga kini masih disana. Kariernya kini barangkali bisa menjadi renungan buat Acha dan bintang muda lainnya.

There is no business like show business. Bisnis ini sangat kejam, terkejam dari yang paling kejam. Industri, media dan fans adalah kunci jika Anda berniat mengarungi jagad hiburan. Tidak cukup hanya bakat. Acha, Inul, Bella dan Delon sudah membuktikannya. Setidaknya Inul, Bella, dan Delon jauh lebih beruntung dari Acha. Inul dan Delon mempunyai media, industri dan fans yang menjadi 'punggawa'-nya. Bella memiliki kepercayaan industri dan fans sebagai pengatrol kesuksesannya. Sementara Acha, industri pun belum menyayanginya secara penuh. Media? Lebih banyak yang acuh tak acuh. Publik terbagi dua, haters or lovers. Hanya fans lah satu-satunya alasan Acha untuk bertahan.

Hingga kini, pengumpat itu masih ada. Terakhir ia menulis, “Akting Acha seperti biasa. Berisik dan mengganggu.” Pernahkah Anda membaca review media untuk aktor-aktris lain sekejam yang mereka berikan kepada Acha? MG kira Luna Maya, Bunga Citra Lestari, Marshanda, bahkan Samuel Rizal, Shandy Aulia, juga Cinta Laura tidak mengalaminya. Entah apa maksudnya, selain mengatakan pada dunia bahwa, bagi mereka, Acha tidak bisa berakting dan penampilannya meresahkan. Yakinlah, masih banyak orang seperti mereka yang akan terus mempertanyakan kapasitas Acha sebagai seorang aktris.

Bagi sebagian orang, perempuan ini baru membuktikan dirinya sebagai bintang. Belum sebagai aktris. Ia harus bermain dengan berbagai karakter filmmaker, 'menyelam' ke dalam berbagai genre yang belum pernah disentuhnya, mengganti 'baju' dengan berbagai peran yang belum dijamahnya. Dan yakinlah, tidak ada yang tidak mungkin jika ia mau menggandakan kekuatannya. Seperti kata aktor Amerika, Samuel Jackson, “Everybody likes stories about underdogs that overcome.” Siapa sangka, Tim Kesebelasan Inggris yang bahkan tidak dijagokan dari awal (baca: hardcore underdog) oleh negaranya sendiri bisa mengungguli Jerman Barat dengan skor 4-2. Mereka sudah membuktikannya di World Cup 1966.



Industry Folks


Credit: Hanny R. Saputra

“Dalam diri seorang aktor atau aktris harus ada imajinasi yang kuat terhadap peran yang dijalankannya. Selanjutnya pikiran, perasaan dan seluruh keberadaan dirinya harus tenggelam dalam imajinasi itu. Dan selanjutnya kita melihat ekspresi akting yang muncul sebagai rasa kebenaran yang meyakinkan walaupun itu semua rekayasa adanya. Dan dalam akting Acha kita melihat semua unsur itu menyatu dan sangat solid dalam ekspresi aktingnya. Ketika ia sedih, secara otomatis, tidak ada keterlambatan sama sekali ia akan meneteskan air mata. Ketika ia kesal dan marah, getaran energi kemarahan itu terasa kuat dan nyata sampai menyentuh ke perasaan lawan main dan orang-orang di sekelilingnya yang merasakan ekspresinya. Ekspresinya, aktingnya bulat dan utuh. Sebagai sutradara yang mengikuti perjalanan akting Acha dari nol hingga sekarang ini, dari membimbing sampai akhirnya menjadi teman diskusi, tentu saya tidak bisa mengelak kalau Acha adalah seorang pemain dengan bakat akting yang kuat dan mengagumkan. Tentu saja hal ini akan disempurnakan dalam proses perjalanan hidupnya sebagai manusia. Karena kedewasaan akan membuatnya menemukan apa yang belum ia temukan sekarang.” (Hanny R. Saputra/ Sutradara)

Bekerjasama dengan Acha dalam Heart (2006), Love is Cinta (2007) dan Sssstt...Jadikan Aku Simpanan (2010). Berperan penting dalam lahirnya film-film urban pop Indonesia seperti: Virgin (2004), Mirror (2005), dan The Real Pocong (2009). Berperan mengangkat imej sejumlah aktor-aktris muda Indonesia seperti: Laudya Chintya Bella, Angie Virgin, Ardina Rasti, Mike Lucock, Uli Auliani, dan Nirina Zubir.


Credit: Rudi Soedjarwo

“Acha adalah aktris yang luar biasa! Jauh diatas rata-rata kebanyakan aktris di Indonesia. Dedikasi tinggi dan pemahaman karakter yang luar biasa. Mampu menghidupkan karakter menjadi lebih dimensional! Sosok Acha yang sangat asli Indonesia juga punya nilai lebih. Kalau saya diberi kesempatan dan kekuatan untuk bisa memproduksi banyak film, saya pasti akan memilih Acha untuk memerankan karakter yang berbeda-beda. Dan saya yakin akan solid karena ia multi-character capable. Acha dan Dian (Sastrowardoyo) adalah dua aktris yang berbeda. Layaknya kita bertemu dua orang yang berbeda, citarasanya akan berbeda pula.” (Rudi Soedjarwo/ Sutradara, Produser)

Bekerjasama dengan Acha dalam In the Name of Love (2008). Berperan penting dalam sinema Indonesia era baru sejak Ada Apa dengan Cinta? (2002) yang kemudian diikuti oleh: Rumah Ketujuh (2003), Mengejar Matahari (2004), Tentang Dia (2005), 9 Naga (2006), Mendadak Dangdut (2006), Pocong 2 (2006), Mengejar Mas-Mas (2007), dan Cintapuccino (2007). Berperan menemukan bakat-bakat besar film Indonesia seperti: Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Marcella Zalianty, Ladya Cheryl, Adinia Wirasti, Sissy Priscillia, Titi Kamal, Sigi Wimala, Indra Birowo, dan Fauzi Baadilla.


Credit: Krishto Damar Alam

“Acha seorang artis muda berbakat. Saya bekerjasama dengannya di LoVe. Awalnya saya memang agak meragukan kualitas aktingnya, melihat dari portfolio yang ia punya. Karena menurut saya, peran yang saya coba tawarkan di LoVe lumayan berat. Tetapi ketika saya melihat aktingnya sewaktu casting dan reading, langsung persepsi saya berubah 180 Derajat. She's damn good actress! Selama proses produksi saya banyak bertukar pikiran dengannya. Saya juga menemukan kesimpulan bahwa ia anak yang pintar dan berwawasan luas. Jarang saya menemukan orang seusianya yang mampu mengimbangi semua obrolan saya. Dari mulai politik, sport, sampai gosip terkini. Dalam pergaulan, saya lihat Acha bukan tipe artis yang sombong. Ia humble dengan semua orang dari segala lapisan masyarakat. Memang ada beberapa kendala waktu syuting dengan Acha. Tapi kendala biasa layaknya syuting dengan artis top, scheduling yang sangat tight. Pesan saya ke Acha sih simpel, pilih-pilih lah peran dan project karena ia bisa lebih dari sekarang value-nya. Ia bisa jadi aktris dengan imej kelas A. Sekarang image value Acha masih di B-C, tapi dengan kualitas akting di A. Kalau sabar, Acha akan bisa berada di imej A. Dan itu sangat mungkin ia dapat, dengan kecerdasan intelektual dan kualitas aktingnya.” (Krishto Damar Alam/ Produser)

Bekerjasama dengan Acha dalam LoVe (2008). Berperan penting dalam melahirkan film-film Indonesia berkualitas seperti: Tentang Dia (2005), 9 Naga (2006), Mendadak Dangdut (2006), dan Coklat Stroberi (2007).


Credit: Kabir Bhatia

I have worked on just one film with Acha and I instantly knew that she was an intelligent actress and she really did wonders with the character. I would work with her in a heart beat given the chance. I am very very impressed that she has gone on and studied film. Now she knows every aspect of film making. I am sure this is going to help her develop even more as an artist. That's some serious talent there.” (Kabir Bhatia/ Sutradara, Penulis Skenario)

Bekerjasama dengan Acha dalam LoVe (2008). Berperan penting mengangkat sinema Malaysia ke level atas, termasuk dalam film-film seperti: Cinta (2006), Sepi (2008), Setem (2009), dan sejumlah serial televisi Malaysia.


Credit: Titien Wattimena

“Acha sudah bermain dalam tiga film yang saya tulis. Buat saya, Acha selalu bisa menghidupkan karakter yang saya gubah. Sebagai penulis yang menonton filmnya sendiri, Acha selalu bisa membuat saya percaya bahwa karakter yang saya ciptakan memang ada. Tidak hanya 'ada' sebenarnya, Acha selalu mempunyai caranya sendiri untuk menjadikannya hidup dan bermakna. Saya selalu bilang bahwa 'karakter itu lahir jauh sebelum film dimulai dan dia terus hidup jauh setelah film selesai'. Acha telah membuktikannya.” (Titien Wattimena/ Penulis Skenario, Co. Director)

Bekerjasama dengan Acha dalam LoVe (2008), In the Name of Love (2008), dan Menebus Impian (2010). Berperan penting dalam menghasilkan naskah film-film nasional seperti: Mengejar Matahari (2004), Tentang Dia (2005), Badai Pasti Berlalu (2007), From Bandung with Love (2008), Bestfriend? (2008), dan Minggu Pagi di Victoria Park (2010). Menjadi asisten sutradara pada film: Gie (2005), Mirror (2005), 3 Hari untuk Selamanya (2007), The Photograph (2007), Laskar Pelangi (2008), dan Minggu Pagi di Victoria Park (2010).


Credit: Chitra Subiyakto

“Pertama kali bertemu Acha di produksi Heart. Untuk pemain baru, meski Acha masih muda sekali waktu itu, tapi ia bersikap profesional. Biasanya pemain baru akan ragu untuk masuk ke dalam karakter yg ia perankan, tetapi Acha dengan serius memperhatikan wardrobe yang sesuai karakternya sewaktu proses fitting. Ia memahami bahwa karakternya adalah seorang perempuan muda yang tinggal di desa dan daerah dingin. Jadi dengan sendirinya penampilannya sangat down to earth dan santai. Berbeda sekali dengan karakter gaya keseharian Acha yang tampil mengikuti tren. Pendatang baru terkadang ragu untuk mengubah gaya berpakaian karena merasa tidak pede. Jadi saya dan tim wardrobe biasanya harus menerangkan dulu bahwa ia menjadi orang lain di film ini, bukan menjadi dirinya sendiri. Kami tidak mempunyai problem semacam itu dengan Acha. Akting Acha juga bagus.” (Chitra Subiyakto/ Film Stylist)

Bekerjasama dengan Acha dalam Heart (2006) dan Love is Cinta (2007). Berperan penting dalam menangani penciptaan kostum karakter film-film bermutu seperti: Brownies (2004), Tentang Dia (2005), Ungu Violet (2005), Drupadi (2008), Laskar Pelangi (2008), dan Sang Pemimpi (2009).




(MG/170710 *Ucapan terima kasih teramat dalam kami haturkan kepada Hanny R. Saputra, Rudi Soedjarwo, Krishto Damar Alam, Kabir Bhatia, Titien Wattimena, dan Chitra Subiyakto atas kesediaannya memberikan kontribusi dalam tulisan ini.)

6 comments:

Anonymous said...

sebenarnya acha tuh bagus cuma kenapa dia main sama irwansyah terus? itu yang bikin ngefek jelek. coba dia bergabung sama klubnya garin nugroho gitu pasti jadi plus plus deh..... sheila marcia aja udah main teater musikal kan sama mas garin? nggak sabar lihat kemajuan karier acha. she is a very good actress

Mustokoningati said...

I've been one of her big fans , of her acting of course. love all directors notes :)
it's true she's recent most underrated actress. all the best 4 u girl!

Anonymous said...

well writing..btw gue baru tau dia ada film sama jupe...tenks gue bakal cari dvd tu film soalnya kata mg bagus aktingnya

media indo mah demennya yang cemen kaya aura kasih....luna "cabul" maya...dewi perrrrr**k....artis yang jual bodi dan fisik nomer satu di sini!!!!

Anonymous said...

@acha : jgn keasikan pacaran coz itu bisa ngerusak karir yg udah lo bangun pake darah 'n air mata... lo tuh bukan tipe artis yang mujur jadi harus berjuang mati" an bwt success. eniwei gue pasti dukung lo terus selama lo bisa meningkatkan performa lo! bravo ACHA!!

ircha said...

thanks so much buat analisis ini

Anonymous said...

Terharu bacanya. Salut untuk Acha... Thanks to MG sudah memberikan analisa obyektif

Soul!d