Under the Tree - The Review


Garin Nugroho hadir lagi dengan kekhasannya, film eksperimental.

Under the Tree (UtT) yang dipersembahkan atas nama krisis sosial mewakili kemurnian itikad Garin -yang selama ini telah banyak ditunjukkan dalam karya-karya sebelumnya. Jika Opera Jawa (2006) merujuk pada kisah Ramayana, kali ini sutradara bertangan dingin ini menjadikan Calonarang-nya Pulau Dewata sebagai template.

Maharani (Marcella Zalianty) mengalami krisis identitas diri karena pengalaman masa kecilnya yang buruk tanpa kasih sayang seorang perempuan (baca: Ibu). Dalam perjalanannya, ia terpaksa mengalami peristiwa buruk yang pada akhirnya membuatnya sadar keadaan bisa memaksa seorang perempuan untuk mengorbankan sesuatu. Ia yang pada mulanya merasa terbuang, pada titik baliknya menemukan esensi dari manusia bernama Ibu. Disini ia bertemu dengan Maryun (Dwi Sasono) yang memiliki pengalaman tak jauh beda tentang sosok Ibu.

Dewi (Ayu Laksmi) meratapi ketidakberuntungannya mengandung anak yang akan terlahir tanpa tempurung kepala. Penyiar radio yang doyan menyanyi ini berubah drastis sejak mengetahui kehamilannya bermasalah. Ia dihadapkan pada dua pilihan, melahirkan anak yang akan hidup dalam bilangan menit saja, atau mengaborsinya.

Nian (Nadia Saphira) menikmati kebebasannya sebagai kaum muda yang tak terbatas. Termasuk mencintai laki-laki yang umurnya belasan kali diatas dirinya. Sosok self-role Ikranagara menjadi dambaan Nian dalam mengisi hari-harinya.

Ketiga tokoh utama diatas semuanya berada di Bali, pulau paling mahsyur di Indonesia. Setting resmi film ini memang di sana. Maka sudah sewajarnya jika selama 104 menit, UtT melulu memajang Bali lengkap dengan segala ornamennya. Kultur dan magis yang kental tak lupa ditampilkan Garin. Oh ya, bukankah kedua hal ini selalu menjadi kegemaran Garin? Kalau tidak keduanya, paling tidak salah satu akan selalu dijadikan landasan baginya dalam membuat film.


Garin tipikal ekperimental, seperti saya sebutkan di awal tulisan. Model begini bisa dilihat dari karya James Stanley Brakhage (aka Stan Brakhage) yang sangat fenomenal dalam menciptakan teknik handheld camerawork dan fast-cutting. Lalu apa hubungan Stan dan Garin? Mereka memiliki minat dan kemampuan produksi film yang sama. Ambil saja contoh The Dead-nya Stan (1962) yang kalau saya sebutkan mirip UtT-nya Garin. Bukan pada cerita atau teknik, tapi pada pendekatan yang mereka terapkan dalam mengangkat mitologi dan simbol.

Keberhasilan Garin mengurai problematika sosial dan lingkungan dalam bahasa simbol patut diacungkan jempol. Bagaimana ia menggunakan sebuah telur (lihat scene Dewi meremas telur) atau secarik kain (lihat scene Maharani dipasangkan kain oleh Maryun), juga beberapa kali properti ditampilkan, macam janur, sesaji dan bahkan bunga “makam” (Kamboja) mengandung arti implisit yang sangat dalam. Maklum, ini film kelas perlombaan yang pekat akan bahasa simbol. Lagipula, mana ada film Garin yang lolos dari simbol?

Bahasa gambar UtT menyerupai karya sang Icon Bali, Antonio Blanco. Teknik “lukis kamera” kembali dieksplorasi Garin. Melebihi Opera Jawa, kali ini ia lebih dalam memoles tiap detil adegan dengan didominasi warna monotone. Yadi Sugandi yang memegang kendali sinematografi seperti tak kesulitan mengikuti kemauan Garin, toh ia sudah terbiasa menggarap film festival. Pasir Berbisik (2001), salah satu film Indonesia dengan sinematografi terbaik sepanjang masa, contoh karyanya. Di UtT, Yadi lebih menonjolkan ekspresi karakternya.

Tata musik oleh Kadek Suardana dan Wiwiex Sudarno belum begitu memenuhi ekspektasi, tapi berhasil “mengangkat” beberapa scene, terutama pada scene Maharani dipakaikan kain oleh Maryun.

Budi Riyanto menghasilkan tataan artistik yang menjadi palet warna untuk “lukisan” Garin. Setiap sudut latar penuh sentuhan khas Bali dan untungnya, semua tepat pada porsinya.

Sementara Adityawan Susanto kembali membuktikan kelasnya sebagai film soundman nomor wahid di Indonesia. Bagi Anda yang ingin tahu tata suara film nasional terbaik setahun terakhir, nikmatilah UtT.

Dan akhirnya kredit patut disematkan pada Armantono -yang bersinergi dengan Garin- menciptakan skenario yang terpercaya. Tak disangka, setelah lama berkutat pada film pop-komersial, Armantono back with a bang!

Ayu Laksmi seharusnya menjadi ilham untuk semua aktris nasional. Ia bukanlah bintang besar, akan tetapi dengan permainannya yang selevel aktris pro ia layak masuk jajaran bintang film kelas A. Sedikitnya, Marcella Zalianty yang pernah menerima Piala Citra, terasa tidak ada apa-apanya ketika keduanya dibarengkan -meski tidak pernah satu frame- dalam film ini. Fatal error ketika Dewan Juri FFI 2008 menyerahkan piala Pemeran Utama Wanita Terbaik pada Fahrani (Radit dan Jani). Ayu Laksmi adalah hasil kontemplasi panjang setelah lama kita disuguhi akting kelas “sinetron” pada media seluloid. Ayu tidak hanya bagus pada lima-enam scene, ia tampil mulus dari awal hingga ujung cerita.

Nadia Saphira menjadi penampil berikutnya yang layak mendapat atensi. Lepas sudah karakter Key (Coklat Stroberi, 2007) yang selama ini identik dengannya. Disini ia melepaskan semua atribut keremajaannya -meski berperan sebagai belasan tahun- dan tampil bak aktris muda yang siap menjemput masa depan yang cerah.

Marcella Zalianty seperti biasa tampil dengan ekspresi ambigu. Tampilan macam ini sudah ia usung sejak debutnya di Bintang Jatuh (2000) dan sayangnya hingga kini masih belum diinovasi. Sayang sekali ia tidak memanfaatkan kesempatan besar ini. Padahal siapapun rasanya ingin bermain di film Garin.

Kabar baiknya, UtT mendapat perhatian besar dari dunia luar. Hingga kini masih diikusertakan dalam berbagai festival film internasional.

Kabar buruknya, buat pecinta horor macam Setan Budeg (2009) -yang tayang bersamaan dengan UtT- jangan coba-coba menonton film ini. Jika tidak, Anda akan keluar dengan segera sepuluh menit film ini bergulir. Buat pecinta Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Laskar Pelangi (2008), film ini masih bisa Anda nikmati asalkan bersabar menunggu bagian post-interval, dimana keterkaitan cerita antartokoh dalam setiap segmen akan dijawab. Bagi yang belum menonton, sekadar memberi petunjuk, UtT akan dibagi dalam tiga segmen: Tiga Benih, Benih Terjatuh dan Benih Berbunga. Per segmen akan ada relevansi konklusi pada tiga tokoh utamanya.


Prediksi: Jelas tidak akan berhasil menyedot 100.000 penonton. Tetapi untuk mengangkat citra film Indonesia, kita boleh menggantungkan harapan pada film berbahasa Bali ini.

Rate: 4/5

(KP/ MG130109)

4 comments:

Anonymous said...

Film festival banget. lots of thought. but it's fun to watch for

Juno

Anonymous said...

Iya setuju deh film ini banyak mikirnya..jadi tdk disarankan utk yg mencari fun hehe

Fendik

Anonymous said...

Mikir dikit lah kalau mau nonton, biar cerdas

Anonymous said...

Film ini udah ada dvdnya belum?