Pintu Terlarang - The Review


Ini nggak lucu, Joko!


Kabar kerja sama novelis Sekar Ayu Asmara dengan sutradara Joko Anwar yang tersiar sejak tiga tahun silam dibuktikan hari ini dalam sebuah film berjudul Pintu Terlarang (PT). Selang dua tahun setelah novel PT dirilis pada 2004, Joko Anwar berkewajiban merancang skenarionya. Tidak mudah sepertinya bagi Joko mewujudkan cerita fiktif yang diklaim sebagai novel thriller terlaris di Indonesia ini. Sehingga baru pada awal 2008 tahap pra-produksi film dimulai.


Siapa menduga kerja keras mereka selama ini berbuah hasil manis? PT melenggang ke The 38th International Film Festival Rotterdam yang telah dimulai sejak 21 Januari kemarin hingga 1 Februari nanti. Let's see what's up out there.


Sebenarnya menurut cerita beberapa orang yang sudah membaca novelnya, PT termasuk karya mainstream gaya Sekar. Kenapa begitu, karena seperti yang sudah-sudah, tulisan Sekar tak jauh beranjak dari psikologi dan mistis. Menular pula pada film-filmnya macam Belahan Jiwa (2005) dan Pesan dari Surga (2006). Ketika mendengar PT akan dilayarperakkan, saya sedikit tergelitik dengan hasil eksekusinya. Maklum, ada nama Joko di kursi sutradara. Sekar tak lagi menulis skenario dan mengarahkan film. Akankah tulisan Sekar kali ini lebih 'nyambung' di film?


Ringkas cerita, Gambir (Fachri Albar) merupakan buah kegagalan orang tua dalam mendidik anak. Gambir terlahir dari seorang mantan pekerja seks komersial, Menik Sasongko (Henidar Amroe). Parah bagi Gambir, ibunya bertemperamen kasar dan brutal. Masih ditambah pula sikap ayah tirinya yang apatis -selain juga abusive- menjadi andil dalam membentuk karakter Gambir di kemudian hari.


Gambir dewasa berprofesi sebagai seniman patung. Ia berhasil menciptakan karya yang dijunjung tinggi komunitas kelas atas, tapi sebenarnya palsu belaka. Adalah orang-orang di sekitarnya yang bertanggung jawab atas setiap gerak langkah Gambir. Termasuk Talyda (Marsha Timothy), perempuan manipulator yang di akhir film menjadi pemuncak semua kegagalan Gambir sebagai manusia.


PT tak bisa dibandingkan dengan Janji Joni (2005) atau Kala (2007). Kali ini Joko murni mengedepankan kebutuhan komersial. Sedikit menyegarkan untuk penonton horor/thriller Indonesia yang selama ini justru tak takut ketika figur setan/hantu hinggap di layar dengan extreme close-up sekalipun. Atmosfir 'takut' dibangun Joko dengan pengambilan shot-shot clueless yang efektif merajut dengan adegan berikutnya. Runtut dan solid.


Sayangnya, PT bukanlah karya orisinal Joko. Ia begitu banyak mengadopsi teknik film-film horor/thriller dari barat. Sah saja memang, toh ia pasti sadar betul dengan resiko mengambil film bergenre psycho-thriller. Di Amerika, film macam ini sudah populer sejak dekade 60-70an dan tak terhitung berapa ratus yang sudah mencetak box office. Beberapa diantaranya malah dibuatkan versi cover-nya hingga sekarang. Jangan berharap banyak akan gaya sinema a la Joko. Disini ia cukup membuktikan kualitasnya dibanding sineas horor domestik saja. Tak lebih.


Jujur saja, Joko tidak mempunyai sense of thriller yang baik. Selama film berjalan, saya sering tersenyum kecut dan beberapa kali menggumam, “Ini nggak lucu.” Coba saja tonton, niscaya akan Anda temui beberapa adegan dan dialog yang tidak pas untuk jenis film macam ini. Terlihat begitu dipaksakan. Saya sendiri sampai lupa di part mana, saking banyaknya.

Namun selalu ada pencerahan setiap kali menyaksikan karya Joko. Departemen artistiknya yang selalu berhasil menyita perhatian. Wencislaus (Kala, Perempuan Punya Cerita) kembali 'mengunci' film dengan paket propertinya yang lengkap. Segala kebutuhan otak (5W1H) terjawab setiap kali Wencislaus berkarya. Sangat memuaskan.

Tata musik yang dikepalai Aghi Narottama terlalu berlebihan. Mengingat ini bukan horor, tetapi thriller.

Sedangkan tata suara saya berikan skor 80, satu level di bawah Under the Tree (2009).

Penghuni kursi cast juga tidak bergerak banyak. Fachri Albar masih saja mengandalkan tampang 'pecandu kokain'. Mungkin ia pilihan yang tepat untuk Joko, karena selalu bisa menyetel mukanya sedemikian rupa seperti 'selera' Joko. Hingga setiap gerak mata dan komat-kamit bibirnya sangat khas Fachri Albar. Di manapun, berperan sebagai siapapun, Fachri akan selalu begini. Percayalah, he has no range or whatever...

Marsha Timothy sangat menyedihkan. Meleset jauh dari dugaan saya. Di scene Talyda merajuk Gambir di depan gallery, Marsha kelihatan begitu kartun dengan dialog, “I love you, Gambir... I love you, Gambir.” Intonasi manja perlu dihilangkan jika ingin berkembang, Marsha!

Pemain lain yang terbilang senior seperti Henidar Amroe dan Tio Pakusadewo setali tiga uang. Tidak ada sesuatu yang baru dari mereka -jika tak bisa dibilang jelek. Ariyo Bayu mengalami penurunan akting, di PT ia malah terlihat seperti laki-laki gay -yang seharusnya kontra 360 derajat dari karakternya sebagai Dandung.

Atiqah Hasiholan sebenarnya berpeluang besar untuk memerankan Talyda, sayang disini ia diberi peran kecil. Mungkin karena produser film adalah kakak dari sang pemeran utama perempuan?


Sudahlah, lebih baik saya menonton Psycho-nya Alfred Hitchcock saja daripada mengomentari PT lebih banyak.


3/5

2 comments:

Anonymous said...

Bagaimana kabar film ini? Menang tidak di festival luar?

Fendik

Anonymous said...

biasa aja filmnya, tidak istimewa