Perempuan Berkalung Sorban - The Review



Siapa bilang sinema perempuan hanya milik kaum perempuan? Hanung Bramantyo -berjenis kelamin laki-laki- sangat peduli dengan 'nasib' perempuan. Setidaknya telah ia buktikan dalam beberapa filmnya seperti: Brownies (2005), Get Married (2007), sang fenomenal Ayat-Ayat Cinta (2008) hingga yang terbaru, Perempuan Berkalung Sorban (PBS). Dalam semua film itu, Hanung menjadikan perempuan sebagai tokoh utama cerita yang mempunyai sikap dan pemikiran sendiri untuk menentukan ke arah mana hidupnya berjalan. Memang Brownies masih menyisakan sedikit pertanyaan menggelayut di benak penonton -menyangkut orientasi sikap dan pandangan tokoh utama- tetapi tidak dengan ketiga judul terakhir.

Wajarnya women's cinema, maka yang tertangkap di layar masih seputar isu perempuan, pergerakan perempuan dan pasti, feminisme. Tidak hanya feature film, tetapi juga film pendek, non-fiksi dokumenter dan drama-dokumenter sudah banyak ditelaah sejak awal kemunculannya di tahun 1896. Paket telaah sinema perempuan tersebut meliputi: peran kaum perempuan dan partisipasinya dalam film, resepsi dan persepsi audiens terhadap perempuan dalam film, serta akibat yang ditimbulkan dari munculnya film tentang perempuan tersebut.

Alice Guy Blache memproduksi The Cabbage Fairy pada 1896, dan diikuti oleh lima film di tahun berikutnya, termasuk juga The Bewitched Fiance dan He. Jurnalis film barat menjadi sangat bergairah akan sinema perempuan segera setelah itu.

Akhirnya sampai juga ke negara timur, dengan didominasi India yang penduduknya paling bermasalah dengan isu kesetaraan jender. Perempuan dalam agama Hindu hakikatnya penyembah kaum laki-laki. Tidak berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia yang sebagian besar penganut Islam. Agama mayor di negara kita ini sangat lekat dengan aturan kaum laki-laki yang dianggap sebagai “pemimpin” kaum perempuan. Benarkah demikian? Untuk lebih jelasnya, silakan tonton PBS.

Dari komposisi gambar, PBS menawarkan sinematografi dimensional karya Faozan Rizal (Banyu Biru/ 2005, Maskot/ 2005, Ayat-Ayat Cinta/2008, Doa yang Mengancam/ 2008). Jangan pandang sebelah mata padanya, karena sudah banyak film pendek dan feature-filmnya yang melenggang dari Pusan hingga Singapore International Film Festival. Faozan juga pernah mengambil gambar untuk The National Geographic Channel dan membuat seri dokumenter untuk saluran News Asia. Ia bahkan mengarahkan aktris Hollywood Susan Sarandon sebagai narator program tersebut. PBS ditilik dari sudut sinematografi sebenarnya berpotensi mendapat nilai A. Sayang tidak dibarengi dengan pemilihan sudut pengambilan gambar yang baik. Shot-shot baku dibidik begitu saja tanpa ada penemuan mutakhir, jadi tak ada bedanya dengan AAC. Saya agak ragu, apakah ada campur tangan Hanung di bagian ini. Jika benar sangat disayangkan. Sebab, Faozan mempunyai skill kelas advance. Sia-sia jika kreativitasnya 'dirusuhi' pihak lain.

Artistik dikerjakan oleh Oscart Firdaus yang pernah memegang Best Friend (2008) dan Doa yang Mengancam (2008). Seperti tak percaya melihat kerja Oscart, ia sangat teliti dan mendetil. Saya terhenyak ketika melihat poster film Saur Sepuh 4 yang dibuat sama persis dengan aslinya tahun 1992 silam. Begitu pula dengan pernak-pernik di setting pesantren Al Huda, gedung bioskop Jogja dan Pasar Jombang. Sangat meyakinkan.

Tya Subiakto seperti bersenyawa dengan film Hanung. Tata musik yang ia garap kali ini terbilang lebih smooth dan lebih padu ketimbang AAC yang ia garap sebelumnya. Sementara tata sunting (Wawan I. Wibowo) dan skenario (Ginatri S. Noer dan Hanung Bramantyo) bagi saya tidak terlalu bagus. Sekelas dengan tata suara.

Adimolana dan Adityawan Susanto (Get Married, AAC) tak bekerja terlalu banyak. Dengan kata lain tata suara PBS tidak mencuri perhatian. Sorry to say for the dynamic duo, u did an average job. Khusus buat Adityawan, karya Anda kurang menggigit kali ini. Back-sound dan voice-over terdengar rapuh dan tidak mendukung suara utama yang keluar dari dialog para tokohnya.

Revalina S. Temat (Annisa) mengemban tugas berat sebagai pemeran utama perempuan dalam film Hanung Bramantyo. Untuk kerja kerasnya ini, saya dengan rela memberinya nilai 80. Saya antusias untuk menunggu film Revalina selanjutnya. Akan menyenangkan jika ia tidak tampil dengan karakter yang sama.

Reza Rahardian (Samsuddin) menjadi kuda hitam PBS. Ia seingat saya bukanlah aktor yang diperhitungkan. Oh, saya lupa ia (dulu) memang bukan aktor. Saya baru ingat ia pernah 'menemani' Sheila Marcia Joseph di Film Horor (Scary Movie versi Indonesia). Tidak disangka, perkembangan aktingnya sedemikian pesat hingga ia betul-betul menjelma menjadi Samsuddin yang binal dan manipulatif. Penampilan fisiknya mirip Dwi Sasono. Hanya bedanya, akting Reza jauh lebih matang ketimbang seniornya itu.

Widyawati (Ibu Nyai) mengobati kerinduan penonton pasca Love (2008). Maaf sedikit menyalahi pepatah lama, Tak ada gading yang retak untuk aktris satu ini. Lihat scene Annisa dilempar rajam oleh para santri dan Ibu Nyai datang membela sang anak dengan memungut sebongkah batu. Begitu pun dalam scene Ibu Nyai menimang jabang bayi sambil memandang Annisa yang berhalusinasi tentang mendiang suaminya. Tatapan Widyawati, tatapan sang Ibu Nyai, sungguh menggetarkan.

Oka Antara (Khudori) tak jelek, juga tak bagus. Aksen bicaranya perlu diperbaiki, meski ekspresinya sudah cukup fixed on. Joshua Pandelaki (Kyai Hanan) mengulang karakternya seperti di Radit dan Jani (2008). Eron Lebang (Reza), jelas miscasting. Wajah dan mimiknya terlalu 'urban' untuk menjadi santri dari Jawa Timur.

Jika ingin menonton film impor Red Cliff, saya sarankan tonton dulu PBS. Jangan sebaliknya, supaya tak terlalu kecewa dan akhirnya bilang, “Tahu gitu mending nggak usah nonton...


3/5

1 comments:

Anonymous said...

Film ini menyulut kontroversi agama vs feminisme
seniman memang punya hak utk berkarya
hendaknya pihak2 yg merasa 'terzalimi' segera introspeksi. film ini bukan utk menghakimi, tp menjadi bahan renungan untuk kita semua.

Fendik