3 Doa 3 Cinta - The Review


Inilah film Indonesia sebenarnya. Bagaimana bisa film sebagus ini bisa lepas dari gelar Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2008? Saya berharap, sungguh-sungguh berharap, film ini bisa diloloskan sebagai official selection for Best Foreign-Language Film pada Academy Awards 2009.


3 Doa 3 Cinta (3D3C) menceritakan tiga orang santri Pondok Pesantren Al Ikhlas di daerah Bantul, Yogyakarta. Setiap dari ketiganya memiliki mimpi selepasnya mereka selesai berguru kepada Romo Kyai. Huda (Nicholas Saputra) ingin mencari ibunya di Jakarta. Rian (Yoga Pratama) berhasrat menjadi operator proyektor layar tancap keliling. Syahid (Yoga Bagus Satatagama) bercita-cita mati syahid, sesuai namanya, membela agamanya sampai titik darah penghabisan.

Dari mereka, Rian terlihat paling hyper-active. Ia inisiator, dapat menyemangati kawan-kawannya dan selalu bisa diandalkan. Huda pendiam, tapi tidak seperti Syahid, ia sangat bisa membaca situasi. Tak heran ia lebih disayang oleh Romo Kyai. Sedangkan Syahid, meski pendiam ia bisa meledak pada titik tertentu.

Kepribadian tiga karakter utama 3D3C inilah yang menjadi benang merah dari keseluruhan isi pesan film. Menjelaskan makna hidup yang sesungguhnya, tidak ada hitam dan putih. Lalu di mana konflik ceritanya? Sudahlah jelas tidak ada kebenaran hakiki selain milik Tuhan. Tokoh Huda, Rian dan Syahid mewakili kata “konflik” itu sendiri. Mereka bukan orang suci, mereka pernah berbuat salah dan belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik di masa mendatang. Memang benar mereka santri, julukan untuk murid pesantren (tempat yang menutup diri dengan dunia luar). Tapi sosok mereka bukan orang lain, sama saja dengan orang kebanyakan yang bisa kita temui di kawasan urban seperti di mal atau club.

Pesantren sendiri diartikan sebagai institusi pendidikan Islam tradisional yang dikepalai seorang Kyai untuk mencetak santri yang mengerti ajaran Islam dari tingkat dasar hingga lanjut. Maka keberhasilan seorang santri sangat dipengaruhi oleh sosok Kyai. Tokoh Romo Kyai yang menjadi pimpinan Al Ikhlas diceritakan sebagai Kyai yang arif dan mengajarkan kebaikan serta kebajikan pada murid binaannya. Berbeda dengan tokoh pemimpin gerakan Islam radikal yang berorientasi narrow-minded, tujuannya melenyapkan semua orang di luar Islam dengan dalih memperjuangkan agama. Ah, sangat primitif...

Apakah sesungguhnya Islam? Isu global tentang Islam dan gerakan terorisnya dijawab oleh satu film Indonesia ini.

Kejelian Nurman Hakim (sutradara, penulis skenario) menangkap atmosfer pesantren patut dijunjung tinggi. Ia sendiri bahkan mantan santri. Tak heran setiap gerak-gerik santri terpantau dengan baik dibawah pengawasannya. Seperti penggambaran santri laki-laki yang mencabuli sesamanya, juga santri yang diam-diam mengintip “ritual” Kyai-nya. Nurman mencermati setiap sudut pesantren (pengalaman pribadi?) dan tergambar jelas di film berdurasi 114 menit ini.

Tata artistik film ini sempurna, karena memang begitulah kondisi pesantren sesungguhnya. Lengkap dengan bilik tidur beralas tikar dan “hall” makan kepunyaan tahanan penjara. Sinematografi yang diterapkan dalam 3D3C mengimbangi setting cerita. Bersama dengan tata artistik, mereka saling melengkapi. Tata suara tidak bermasalah. Sepanjang pendengaran saya, tidak ada kebocoran sama sekali. Sedangkan tata musik bisa mengikuti emosi karakter. Usaha Djaduk Ferianto dan Kuaetnika-nya bisa diandalkan. Saya yakin tata musik dalam 3D3C bisa menarik atensi publik internasional. Sangat orisinil, asli Indonesia. Penyuntingan film tidak berjalan mulus. Beberapa kali berulang jump-cut yang cukup mengganggu. Kebanyakan pada scene aktivitas yang berpindah diantara ketiga tokoh utama.

Dari semuanya, ada satu scene yang mencederai film berbujet Rp 3 Milyar ini. Yakni pada saat proses penangkapan Romo Kyai dan tiga santrinya. Semudah itukah aparat meringkus tersangka gerakan teroris? Pada kenyataannya, ratusan polisi dan tentara dikerahkan. Entah kenapa bisa luput dari perhatian Nurman. Jika ingin menang di festival film internasional, sebaiknya scene ini segera dirombak.

Penampilan Nicholas Saputra tidak mengecewakan. Dialek Jogja-nya sangat meyakinkan. Patut dicermati, sebab dialek Jawa Tengah saja berbeda-beda. Misalnya Jawa-Jogja dan Jawa-Solo. Namun disini, Nicholas sudah menerapkan dialek Jawa-Jogja dengan benar. Didukung dengan kematangan ekspresi dan gesturnya, seharusnya juri FFI tahun ini menetapkannya sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik. Malah Vino G. Bastian yang berakting kekanak-kanakan di Radit dan Jani merebut gelar itu darinya. Wrong decision, judges!

Yoga Pratama menarik di adegan awal saja, masuk paruh film sudah tidak mengikuti skrip. Menurut saya, ia terlalu comical. Paling kentara di scene ia menangis saat ibunya memutuskan menikah lagi. Ia masih layak masuk nominasi FFI tapi tidak untuk menang. Namun juri berpikir lain sehingga tahun ini ia mendapat predikat Pemeran Pembantu Pria Terbaik.

Yoga Bagus Satatagama mengendalikan tokoh Syahid dengan ritme benar. Ia bisa menjadi Syahid yang pendiam dan dingin, seringkali minder tetapi pada saat lain emosional. Untuk penampilannya, ia bisa saja mendapat penghargaan dari festival lain. Maklum, namanya tak tercantum dalam daftar nominasi FFI tahun ini.

Dian Sastrowardoyo, aktris yang sudah sangat ditunggu penampilannya, muncul dalam beberapa adegan. Penampilan ini bisa dibilang special appearance. Ia berperan sebagai Dona Satelit, biduanita dangdut keliling yang membantu tokoh Huda melacak jejak ibunya. Dian masih cantik, malah sangat cantik. Pada scene membuat rekaman video bersama Huda misalnya. Sayang, tampaknya akting Dian belum berkembang. Intonasinya masih sama dengan di Pasir Berbisik (2001) dan Ada Apa dengan Cinta? (2002). Begitu juga ekspresinya, masih childish-looking.

Jika Anda termasuk orang yang merasa diri Anda baik dan benar, saya sarankan menonton film ini. Dan lihat, apakah Anda termasuk di dalamnya? Jika belum, marilah saya dan Anda belajar terlebih dahulu menjadi orang yang “bajik”. (KP/ MG 191208)

4/5

4 comments:

Anonymous said...

filmnya bagus. kok nggak menang FFI ya?
sayang dian cuma tampil sebentar ya

Anonymous said...

Koment saudara tajam dan lugas saya sangat mengakui. Malah kadang terasa begitu detil dan spesifik. Tapi ada beberapa prihal dasar yang sangat mengundang tanda tanya saya, di balik semua analisa dan prediksi saudara bila ada sesi khusus antara kita berdua membicarakannya mungkin saya akan senang sekali. terimakasih.

Mellyana's Guardians said...

Sdr Anonim,
terima kasih sdh berkunjung kesini & berkomentar. Karena Anda tdk mencantumkan nama, bagaimana kalau kita saling berkirim e-mail? Kami tunggu di: mellyanaguardians@yahoo.com

Thanks,
MG

Anonymous said...

sayang nggak menang best film FFI....